TEMPO.CO, Jakarta - Selama berminggu-minggu, akun Instagram Motaz Azaiza secara eksklusif menjadi saksi kengerian yang terjadi di Gaza. Sejak 7 Oktober, jurnalis Palestina berusia 24 tahun ini mendedikasikan hari-harinya untuk mengabadikan adegan kematian, kehancuran, dan penderitaan warga akibat serangan brutal Israel di daerah kantong yang terkepung itu.
Namun ketika seranganmiliter Israel yang diklaim untuk membasmi Hamas dari Jalur Gaza memasuki bulan ketiga, dan ketika invasi darat Israel semakin meluas ke wilayah selatan dimana jutaan warga sipil saat ini berlindung, Azaiza telah memperingatkan bahwa ia mungkin tidak dapat melanjutkan pekerjaannya dalam jangka waktu yang lama.
“Fase mempertaruhkan hidup Anda untuk menunjukkan apa yang terjadi kini telah berakhir,” katanya kepada para pengikutnya dalam sebuah pernyataan pada akhir pekan, “dan fase mencoba bertahan hidup telah dimulai.”
Hanya dalam 10 pekan, rambut pemuda itu bahkan sudah mulai memutih.
Nasib jurnalis seperti Azaiza penting—tidak hanya bagi warga Palestina di Gaza, yang sebagian besar dari mereka bergantung pada pers lokal untuk melaporkan apa yang terjadi di dunia yang semakin sulit dijangkau. Namun juga bagi pers internasional yang lebih luas, yang tidak punya akses untuk melaporkan sendiri secara independen apa yang terjadi di lapangan di Gaza.
Bagi keduanya, mereka telah menjadi sumber informasi langsung yang penting di tengah perang terburuk yang pernah menimpa Jalur Gaza. Langsung dan tanpa filter, liputan mereka memberikan gambaran langka tentang kehidupan di Gaza—19.000 lebih warga Palestina tewas dengan mayoritas anak-anak dan perempuan hingga Selasa 19 Desember 2023, 100.000 bangunan hancur, dan 1,9 juta orang mengungsi.
Tak satu pun dari jurnalis ini yang merupakan pengamat netral, dan mereka juga tidak pernah mengaku sebagai pengamat netral. Masing-masing dari mereka secara bersamaan meliput dan menjalani perang.
Banyak dari mereka terpaksa mengungsi dari rumah dan kota mereka; banyak yang kehilangan kolega, teman, dan anggota keluarga akibat serangan udara. Seperti semua orang di Gaza, mereka harus menghadapi kekurangan makanan, air bersih, tempat tinggal, dan listrik.
“Sejujurnya, saya tidak pernah membayangkan akan melaporkan semua kekerasan ini,” Hind Khoudary, seorang reporter lepas berusia 28 tahun untuk kantor berita Turki Anadolu dan media lainnya, mengatakan kepada TIME bulan lalu melalui WhatsApp, salah satu dari sedikit bentuk komunikasi yang andal di tengah pemadaman listrik rutin dan pemadaman internet akibat blokade total Israel di Gaza.
Sama seperti Azaiza dan yang lainnya, Khoudary secara rutin membagikan foto dan video pengalamannya di tengah perang: rak-rak supermarket yang kosong, rumah sakit yang kewalahan, dan lingkungan yang menjadi puing-puing.
Selama perang, Khoudary menyaksikan rumahnya hancur, teman-temannya terbunuh, dan keluarganya terpisah. Dia bilang dia kehabisan tenaga dan dehidrasi. “Melaporkan dan menjalani hal yang persis sama sungguh melelahkan.”
Jika ada satu hal yang membuatnya bertahan, kata Khoudary, itu adalah “fakta bahwa orang-orang mendengarkan, melihat, dan berinteraksi dan ini adalah hal terbaik yang membuat saya terus melanjutkan.”
Pertanyaannya adalah berapa lama mereka bisa terus seperti ini. “Saya tidak lagi memiliki harapan untuk bertahan hidup."