Bisan Owda, seorang pembuat film Gaza berusia 25 tahun, mengatakan kepada lebih dari 3 juta pengikutnya dalam sebuah postingan baru-baru ini. Sejak 7 Oktober, Owda mendedikasikan waktunya untuk mencatat perang melalui serangkaian video diary.
Seringkali dalam bahasa Inggris dan selalu difilmkan dengan gaya selfie, kirimannya menawarkan pandangan tentang realitas kehidupan di bawah pengeboman Israel. Israel telah menjatuhkan puluhan ribu ton bom, jauh lebih banyak dari pada serangan Amerika Serikat di Timur Tengah maupun Jepang saat Perang Dunia II.
Dalam salah satu video, Bisan memandu pemirsa melalui rutinitas malamnya, yang mencakup mengumpulkan barang-barang penting di dalam tas dan menyimpan sepatu di dekat pintu jika lingkungan tempat tinggalnya dibombardir. Dalam foto lain, ia menggambarkan ketangguhan warga Palestina, meski mengungsi di tempat penampungan, masih bisa membuat falafel, makanan pokok Palestina, di atas api kayu.
Beberapa jurnalis Palestina terkemuka yang berhasil bangkit dari perang terpaksa mundur dari pekerjaan mereka. Plestia Alaqad, seorang jurnalis lepas berusia 22 tahun yang secara teratur berbagi kesaksian dari warga Palestina tentang perang tersebut, membuat keputusan untuk meninggalkan Gaza bulan lalu karena kekhawatiran bahwa pemberitaannya dapat membahayakan nyawa keluarganya.
Sehari sebelumnya, dia berkata bahwa tidak akan lagi mengenakan rompi dan helm pers, mengingat bahwa meskipun dimaksudkan untuk melindunginya, hal tersebut tidak lagi membuatnya merasa aman. “Saya harap mimpi buruk ini segera berakhir,” tulisnya. “Saya harap kita tidak kehilangan jurnalis lagi.”
Ketakutannya bukannya tidak berdasar. Setidaknya 96 jurnalis tewas saat meliput perang tersebut hingga Selasa 19 Desember 2023 menurut perhitungan independen Palestina. Sementara Komite Perlindungan Jurnalis (CJP) meski mencatat jumlah yang lebih rendah, menegaskan bahwa Gaza menjadi lokasi paling mematikan bagi jurnalis sejak LSM tersebut mulai melacak kematian jurnalis pada 1992.
Sebagian besar korban tewas adalah jurnalis Palestina, dengan empat jurnalis Israel dan tiga jurnalis Lebanon.
Investigasi yang dilakukan oleh Amnesty International, Human Rights Watch, kantor berita Inggris Reuters, dan kantor berita Prancis Agence France-Presse terhadap pembunuhan Issam Abdallah, seorang jurnalis Lebanon untuk Reuters pada 13 Oktober, menyimpulkan bahwa kematiannya kemungkinan besar merupakan akibat dari serangan yang disengaja oleh Pasukan Pertahanan Israel terhadap warga sipil, yang merupakan kejahatan perang.
“Apa yang seharusnya dilaporkan oleh jurnalis Palestina lebih dari yang sudah mereka beritakan?” Alaqed menulis kepada pengikut Instagram-nya pada Selasa pekan lalu. “Berapa banyak lagi warga Palestina yang harus mati agar hal ini bisa berakhir?”
Sebuah video yang dirilis oleh BBC News pada awal-awal serangan Gaza menggambarkan gejolak emosi yang dialami reporter BBC Arab, Adnan Elbursh, dan timnya. Mereka menangis saat mengetahui bahwa teman, tetangga, dan kerabat mereka termasuk di antara korban serangan Israel.
Elbursh, melaporkan dari dalam rumah sakit Al Shifa, yang terbesar di Gaza, menyatakan dalam laporannya, “Ini adalah rumah sakit lokal saya, dan teman-teman serta tetangga saya ada di dalam, berjuang untuk hidup mereka.”
Berusaha semaksimal mungkin untuk tetap tenang di depan kamera, Elbursh mengatakan bahwa ini adalah salah satu hari paling menantang dalam kariernya, dan pemandangan mengganggu yang ia saksikan akan menghantuinya sepanjang masa yang akan datang.
Dalam laporan video BBC, seorang gadis muda dengan wajah berlumuran darah dan tertutup debu, terlihat duduk di ranjang rumah sakit sambil menangis sementara dokter merawat kakinya yang terluka.
Jurnalis yang berdomisili di Gaza ini mengungkapkan, anak tersebut telah kehilangan rumah dan kerabatnya. “Rumah gadis muda ini hancur, kerabatnya terbunuh, dan dia membutuhkan bantuan. Putri saya seumuran, dan saya harap saya bisa memberinya pelukan yang menenangkan,” kata jurnalis tersebut dalam laporannya.