Apalagi untuk Taman Nasional, pemerintah sudah punya anggaran besar untuk menkonservasinya. Salah satunya adalah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang memegang peranan penting dalam alokasi dana konservasi tersebut.
Ditambah pajak yang dibayarkan perusahaan-perusahaan swasta di industri ukehutanan yang memang ditujukan untuk konservasi flora maupun fauna. "Jadi ada anggarannya dan menurut saya sangat cukup," kata Azril.
Guru Besar Pariwisata Universitas Trisakti itu meyakini tidak ada kaitan harga tiket dengan konservasi lantaran konservasi sudah menjadi tanggung jawab pemerintah. Ia menjelaskan jika ingin membatasi pengunjung, langkah yang tepat bukan dengan menaikkan harga tiket.
Berdasarkan cara ilmiah, kata dia, ada rumus physical carrying capacity (PCC). Jadi, pengelola seharusnya menghitung kapasistas kemampuan Taman Nasional Komodo dalam menampung pengunjung per hari. Selain itu, perlu dihitung juga time and motion study, artinya perhitungan berapa durasi dan pergerakan yang bisa ditolerir oleh Taman Nasional Komodo per jam.
Dalam konservasi, pemerintah harus membagi wilayah menjadi sejumlah zonasi, mulai dari zona merah atau area terlarang bagi pengunjung, kemudian zona kuning dan hijau. Jika pemerintah menilai hanya Pulau Komodo mengalami kerusakan terparah, ia menyarankan daerah itu ditutup sama sekali sehingga tidak bisa diakses wisatawan secara langsung. "Wisatawan tetap bisa melancong dengan cara lain, misalnya menggunakan teleskop dan fasilitas lainnya," ucap Azril.
Hal lain yang justru merusak upaya konservasi, kata dia, adalah pembangunan besar-besaran yang saat ini tengah direncanakan di Taman Nasional Komodo. Jika itu terjadi, kemungkinan lingkungan menjadi tak lagi lestari dan hanya investor yang mendapat keuntungan.
Padahal seharusnya pariwisata tetap berbasis komunitas sehingga masyarakat sekitar yang mendapat manfaat. "Sekarang mata pencaharian dari hulu sampai ke hilir diambil oleh BUMD kan. Itu usaha ya kerja sama mereka. Jadi investor saja yang dibangunkan segala macam. Itu tidak boleh," kata Azril.
Ia menyayangkan KLHK dan LIPI yang selama ini diam atas pembangunan-pembangunan di wilayah Taman Nasional di Indonesia. Padahal, meurut dia, dua lembaga itu yang seharusnya bersuara paling keras mengecam kerusakan alam yang diakibatkannya. "Jangan justru mencari keuntungan. Ini konservasi atau komersialisasi?"
Baca: Ke Pendemo Tiket Pulau Komodo, Gubernur NTT: Bisa ke Pulau Rinca, di Sana Ada 1.300 Komodo