TEMPO.CO, Jakarta - Citayam Fashion Week, nama ini belakangan menjadi perbincangan luas di masyarakat, di media massa dan tentu saja di media sosial.
Ini adalah panggung yang diciptakan para remaja Citayam, Depok dan Bojonggede, Bogor yang kerap berkumpul di Jalan Jenderal Sudirman, Dukuh Atas, Jakarta Pusat.
Istilah itu muncul karena para anak baru gede atau ABG yang nongkrong itu kerap memakai pakaian street style yang cukup modis, hingga viral di media sosial.
Namun sebenarnya tak hanya ada anak Citayam dan Bojonggede yang nongkrong di kawasan Dukuh Atas. ABG lain dari Bekasi hingga berbagai penjuru DKI Jakarta juga menjadikan Terowongan Kendal, Stasiun Dukuh Atas dan Jalan Jenderal Sudirman sebagai tempat untuk jalan-jalan dan bermain.
Sosiolog dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Asep Suryana, menilai maraknya remaja SCBD (Sudirman, Citayam, Bojonggede, dan Depok) yang berkumpul di Dukuh Atas itu sebagai bentuk perlawanan. Alasannya mereka datang ke tempat yang dicitrakan sebagai metropolitan dan dan selama ini dikesankan milik high class.
Sementara, menurut Asep, anak Citayam dan daerah lainnya ini adalah masyarakat pinggiran bagian dari struktur kelas bawah. Simbol-simbol yang diekspresikan mereka pun berbeda. “Pakaian dan sikapnya berbeda, mereka lebih selengean, lebih resisten,” ujar Asep kepada Tempo, Jumat, 15 Juli 2022.
Remaja Citayam yang main ke Dukuh Atas generasi kedua
Asep Suryana juga menilai remaja asal Citayam itu merupakan anak-anak generasi kedua. Orang tuanya merupakan warga yang secara ekonomi kurang mampu untuk membeli rumah di Jakarta, sehingga tergusur dan memilih untuk tinggal di Citayam atau daerah pinggiran lainnya.
Gaya para remaja saat mengunjungi kawasan Dukuh Atas, di Sudirman, Jakarta, Senin, 4 Juli 2022. Fenomena anak Citayam, Depok dan Bojonggede, Kabupaten Bogor nongkrong di Dukuh Atas dan Terowongan Kendal Jakarta itu viral di media sosial. ABG alias anak baru gede itu memanfaatkan ruang-ruang publik di Jakarta untuk mengekspresikan gaya mereka. TEMPO / Hilman Fathurrahman W
“Ada tiga golongan, ada yang tinggal di kompleks, mereka mampu beli rumah di sana; beli rumah di kampung; dan para pengontrak yang mencari kehidupan di sektor informal di sana,” tutur dia.
Asep pernah membahas mengenai Citayam dalam tesisnya saat menempuh Program Pascasarjana Sosiologi di Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia pada 2006. Judul tesisnya adalah "Suburbanisasi dan Kontestasi Ruang Sosial di Citayam, Depok”.
Menurut Asep, remaja Citayam ini merupakan kaum bawah yang berasal dari pelosok dan harus diterima di Dukuh Atas, tempat yang didominasi dengan stigma modern dan bersih. Namun Asep meminta masyarakat tidak memberikan stigma buruk kepada remaja SCBD itu, melainkan memfasilitasinya dengan baik.
“Jangan menstigma begitu, ya. Stigman itu harus direkayasa supaya bergeser. Mereka harus diakomodir, dari tempat mainnya, kegiatan, dan lainnya,” kata dia.
Asep menjelaskan para ABG tersebut memerlukan masa depan, sehingga Pemerintah Provinsi DKI harus memfasilitasi mereka. “Mereka butuh pengembangan diri, kalau gagal, ya bisa jadi calon preman itu,” tutur Asep.
Merayakan Citayam Fashion Week...