Kredibilitas Automatic Adjustment Tercoreng
Pandangan serupa juga datang dari Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies, Yusuf Wibisono. Dia menduga bahwa kebijakan automatic adjustment dibuat sekadar untuk pembiayaan program dadakan Jokowi yang sangat kental dengan kepentingan politik pragmatis.
Menurut dia, automatic adjustment sebenarnya kebijakan yang positif. Sebab, fungsinya sebagai langkah antisipasi pemerintah untuk menghadapi ketidakpastian ekonomi. Maka dari itu, sudah seharusnya pemerintah mengelola anggaran dengan berhati-hati.
Akan tetapi, niat mulia automatic adjustment itu menjadi tercoreng karena terindikasi unsur politis. "Kredibilitas kebijakan automatic adjustment ini menjadi hancur karena diadopsi bukan untuk tujuan mulia menurunkan beban APBN dari cost of fund pembiayaan anggaran atau menjadi cash buffer bagi APBN menghadapi ketidakpastian," katanya ketika dihubungi pada Rabu, 7 Februari 2024.
Dengan adanya anggaran baru dari automatic adjustment, menurut Yusuf, mengartikan kebijakan dadakan Presiden dianggap lebih baik dan perlu diprioritaskan daripada program K/L yang telah direncanakan secara matang. "Ini tentu menjadi preseden buruk dalam proses perencanaan pembangunan kita, di mana sebuah program dadakan dan bahkan juga sangat didorong kepentingan personal presiden."
Rektor Universitas Paramadina Didik J. Rachbini juga menilai bahwa APBN digelontorkan jorjoran untuk Bansos. Tujuannya pun tidak lagi bersih, namun mengandung unsur kepentingan untuk melanggengkan kekuasaan Jokowi. "Memobilisasi anggaran sosial yang Rp 500 triliun itu untuk kepentingan politik," tuturnya dalam diskusi daring pada Rabu, 7 Februari 2024.
Didik memahami bahwa dugaan tersebut memang sulit untuk dibuktikan, namun bisa dirasakan. "Apapun alasannya, ya memang tidak mudah membuktikan, tetapi ini sudah seperti kentut. Kentutnya ada, kita rasakan."
Sepanjang pengamatannya, Didik menganggap Pemilu 2024 sebagai Pemilu paling tidak jujur dan tidak bersih dalam catatan sejarah. Dia menyamakan era Jokowi dengan rezim Presiden Soeharto, ketika birokrasi dimobilisasi demi kepentingan terselubung.
"Sudah seperti zaman Pak Harto. Mobilisasi Golkar pada waktu itu, ya sudah terjadi (saat ini) dan hanya terjadi ketika kekuasaan itu otoriter. Sekarang sudah sempurna otoriternya dan presiden sudah seperti raja," katanya.
Anggaran Jumbo untuk Bansos jadi Sinyal Kegagalan Jokowi
Guru Besar Ekonomi Universitas Paramadina Didin S. Damanhuri memandang penggelontoran anggaran yang besar untuk Bansos mestinya menandakan tingginya tingkat kemiskinan Indonesia. Sebagaimana salah satu tujuan Bansos adalah mengentaskan kemiskinan atau setidaknya meredam krisis ketika pandemi atau kondisi serupa.
Tepatnya pada kondisi di mana masyarakat mengalami penurunan daya beli dan proses pemiskinan. "Jadi, Bansos sebagai shock absorber bagi masyarakat. Nah, pandemi ini kan sudah berakhir, kita masuk ke endemi dan kemiskinan menurut data juga sudah menurun, walaupun belum ideal."
Per Maret 2023, Badan Pusat Statistik memcatat jumlah penduduk miskin Indonesia sebanyak 25,9 juta orang atau 9,36 persen. Pada Maret 2022, jumlahnya 9,54 persen dan 10,14 persen pada 2021. Ketika pandemi tahun 2020, angka kemiskinan memang tercatt meningkat yakni 9,78 persen pada Maret dan 10,19 pada September.
Fakta inilah yang disoroti oleh Didin, bahwa data menunjukkan angka kemiskinan Indonesia menurun, namun Bansos diberikan besar-besaran. Apa yang menjadi pertimbangan pemerintah hingga anggaran Bansos diperbesar dan nyaris menyentuh Rp 500 triliun. "Jadi, memang ini sudah salah satu pertanyaan besar, bahwa penggelontoran Bansos di era di mana kita akan Pilpres sudah menjadi alat politik," ucap dia.
Didin juga menyebut perihal stiker pasangan calon (Paslon) Capres-cawapres nomor urut dua Prabowo Subianto dan Gibran di kemasan beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan Bulog. "Yang makin mencolok ada bukti bahwa pembagian Bansos ini di sebagian daerah, sebagian tempat, dilabeli berlogo paslon tertentu, itu 02. Dengan pesan bahwa kalau 01 dan 03 menang, Bansos itu tidak akan diteruskan. Jadi, ini indikasi sangat kuat bahwa politisasi Bansos oleh Presiden Jokowi," kata dia.
Selanjutnya: Ada anggaran yang tidak diganggu gugat...