TEMPO.CO, Jakarta - Tahun 2023 meninggalkan catatan tentang krisis kemanusiaan sangat buruk. Perang Saudara di Sudan, Perang Israel Hamas, ketegangan politik yang tak berkesudahan di Sudan Selatan, gangguan kelompok bersenjata di Burkina Faso dan konflik kelompok pemberontak dan junta Myanmar serta ketidakadilan terhadap warga Rohingya adalah lima konflik teratas yang masuk dalam Daftar Pantauan Darurat IRC (Komite Penyelamatan Internasional). Di belakang lima besar ini, ada negara-negara seperti Kongo, Etiopia, Niger, Somalia dan Mali yang juga mengalami krisis kemanusiaan yang sangat buruk.
Negara-negara yang masuk dalam daftar pantauan hanya menampung 10% populasi dunia, namun menyumbang sekitar 86 persen dari seluruh orang yang membutuhkan bantuan kemanusiaan secara global, 75% orang yang kehilangan tempat tinggal, 70% orang yang menderita krisis atau tingkat kerawanan pangan yang lebih buruk— dan semakin besarnya jumlah kemiskinan ekstrem global.
Berikut 5 negara teratas yang kemungkinan besar akan menghadapi krisis kemanusiaan terburuk 2024 menurut IRC:
1. Myanmar
Sebagai anggota ASEAN, konflik di Myanmar juga mempengaruhi negara-negara tetangganya. UNHCR menyatakan selama beberapa dekade, warga Rohingya mengalami penderitaan ekstrem di Myanmar. Mereka tidak diberikan akses terhadap kewarganegaraan dan pencatatan; tidak diperbolehkan mengakses layanan kesehatan, pendidikan, dan kesempatan kerja; dibatasi dalam kamp dan desa; dan menjadi sasaran kekerasan ekstrem. Akibat menjadi sasaran kekerasan dan pelanggaran HAM berskala besar, warga Rohingya terpaksa mengungsi ke berbagai negara tetangganya, termasuk Bangladesh, Malaysia dan Indonesia.
Karena mereka tidak memiliki kewarganegaraan, tidak ada jalur legal yang memungkinkan pengungsi Rohingya untuk berpindah-pindah wilayah dengan mudah di kawasan ini. Akibatnya, mereka sering memilih perjalanan perahu berbahaya yang ditawarkan oleh para penyelundup manusia. Menurut catatan UNHCR, 70 % pengungsi Rohingya yang mendarat di Indonesia selama sebulan terakhir adalah perempuan dan anak-anak.
Sementara itu, di dalam negeri, junta Myanmar menghadapi perlawanan sengit dari kelompok pemberontak. Konflik di Myanmar telah menyebar secara signifikan sejak militer mengambil alih kekuasaan politik pada 2021. Akibat konflik ini, 18,6 juta orang di Myanmar membutuhkan bantuan kemanusiaan—hampir 19 kali lebih banyak dibandingkan sebelum kudeta militer.
Lebih dari 335.000 orang harus meninggalkan rumah mereka sejak eskalasi terbaru ini dimulai, menyebabkan lebih dari 2 juta orang mengungsi di seluruh negeri. Keamanan memburuk dengan cepat, dengan dampak buruk terhadap warga sipil dan akses mereka terhadap layanan dasar dan bantuan kemanusiaan. Tahun 2024 tampaknya masih menjadi belum bersahabat dengan mereka.