Apabila indeks alfa dibatasi maksimum 0,3, Yusuf berujar pemerintah memandang rendah kontribusi pekerja dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia. "Meski kita negara dengan jumlah tenaga kerja berlimpah, tidak selayaknya kontribusi buruh direndahkan begitu, terlebih untuk industri padat karya," ucapnya.
Senada, Guru Besar Ekonomi dari Universitas Padjajaran Arief Anshory Yusuf pun menilai rentang alfa yang ditetapkan pemerintah terlalu rendah. Terlebih, pemerintah mengatakan pertimbangan penetapan variabel tersebut hanya tingkat penyerapan tenaga kerja dan rata-rata upah.
Ia mengaku khawatir formula tersebut tidak mempertimbangkan kenaikan kualitas dan produktivitas tenaga kerja. Menurut Arief, mestinya dua komponen tersebut harus menjadi pertimbangan apabila berbicara soal kontribusi ketenagakerjaan terjadap pertumbuhan ekonomi.
Formula dalam PP Nomor 51 Tahun 2023 itu juga, menurutnya, tak sejalan dengan niat pemerintah membuat pertumbuhan ekonomi lebih inklusif. Jika ingin mencapai cita-cita tersebut, ia menekankan pertumbuhan upah riil pekerja harus lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi.
Namun faktanya, Arief mencatat upah ril pekerja justru turun 2,1 persen pada 2018 sampai 2023. Sementara itu, produk domestik bruto (PDB) naik belasan persen pada periode yang sama. Dengan adanya formula itu, ia menilai upah riil akan semakin sulit mengejar pertumbuhan ekonomi. Imbasnya, ketimpangan akan semakin melebar.
Terlebih, ucap Arief, inflasi yang digunakan dalam formula ini juga merupakan inflasi umum yang biasanya lebih kecil dari inflasi pangan dan kenaikan garis kemiskinan. "PP ini membuat upah riil harus lebih kecil dari pertumbuhan ekonomi karena selamanya variabel itu akan dikali alfa yang lebih kecil dari 1," ujarnya.
RIANI SANUSI PUTRI | AHMAD FIKRI | CAESAR AKBAR
Pilihan editor: Kemenpan RB Ungkap 3 Alasan di Balik Perubahan Skema Gaji ASN