TEMPO.CO, Jakarta - Kedua telapak tangan perempuan itu berlumuran darah. Namun, ia menolak mencuci tangannya. Sebab, hanya itulah yang tersisa dari tubuh anaknya yang tewas akibat serangan udara brutal Israel di Gaza, selama sebulan terakhir.
“Aku bersumpah tidak akan mencuci tangan. Bagaimana aku bisa tidur tanpa anakku di malam hari,” jerit perempuan itu dalam video yang diunggah MiddleEast Eye. Air mata berlinang di pipinya.
Ia menjadi bagian dari warga Palestina di Gaza yang menjadi korban serangan balasan Israel atas aksi kelompok pejuang Hamas pada 7 Oktober 2023. Setelah Hamas melancar serangan mengejutkan ke Israel yang menewaskan 1.400 orang dan menyandera lebih dari 200 orang, negara Zionis itu melancarkan pengeboman setiap hari.
Pengeboman dilakukan tanpa pandang bulu dan luar biasa brutal. Sekolah, rumah, kamp pengungsi, bahkan rumah sakit dan ambulans yang sedang membawa pasien tak luput dari hantaman bom.
Brian Finucane, mantan penasihat hukum perang Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, yang sekarang bekerja di International Crisis Group, menyebut ada 6.000 bom yang menurut Israel dijatuhkan di Gaza selama minggu pertama.
“Ini adalah jumlah yang luar biasa,” kata Finucane. “Jumlah tersebut lebih besar dibandingkan jumlah bom yang ditahukan koalisi AS melawan ISIS dalam satu bulan penuh.”
Dan, Finucane menambahkan, ada alasan untuk meragukan apakah Israel mempunyai gambaran akurat mengenai siapa sebenarnya yang menjadi sasaran pengebom tersebut. Hamas atau memang menargetkan warga sipil Palestina.
“Kegagalan Israel mengantisipasi serangan 7 Oktober menimbulkan pertanyaan mengenai kualitas intelijen Israel mengenai target pengeboman di Gaza,” katanya. “Apakah tujuan-tujuan tersebut tetap sah untuk tujuan militer atau tidak, dan apakah intelijen Israel sengaja menghukum warga sipil Gaza.”
Hanya dalam hitungan hari, sebanyak 88 keluarga Palestina harus dihapus dari daftar kependudukan Gaza. Seluruh keluarga itu—kakek nenek, orang tua, hingga cucu-cucu mereka—tewas dalam serangan udara Israel.
Hingga Minggu 6 November 2023, Kantor PBB di Jenewa, Swiss, menguraikan skala mengerikan serangan Israel terhadap Gaza dengan mengutip laporan Badan PBB untuk pengungsi Palestina (UNRWA).
"Rata-rata, satu anak terbunuh dan dua anak terluka setiap 10 menit selama perang di #Gaza, lapor UNRWA.
Kementerian Kesehatan Gaza melaporkan jumlah korban tewas warga Palestina di Gaza mencapai 10.022 orang hingga Minggu 6 November sehari sebelum satu bulan serangan Israel ke Gaza.
Juru bicara kementerian itu, Ashraf Al-Qudra, dalam sebuah konferensi pers di Gaza City mengatakan bahwa korban tewas meliputi 4.104 anak dan 2.641 perempuan, sementara korban luka-luka meningkat menjadi 25.408 orang.
Selain itu, terdapat 2.350 laporan orang hilang yang tertimbun reruntuhan, termasuk sekitar 1.300 anak, ujarnya.
Dari setiap 10 orang yang terdaftar sebagai korban tewas oleh Kementerian Kesehatan, empat di antaranya adalah anak-anak. Proporsi kematian anak-anak tersebut melebihi semua konflik bersenjata baru-baru ini, termasuk invasi Rusia ke Ukraina pada 2022.
Dalam satu bulan serangan Israel ke Gaza, semua rekor kejahatan dunia juga terpecahkan.
Save The Children mencatat jumlah anak yang tewas di Gaza melampaui jumlah anak tewas dalam konflik di seluruh dunia sejak 2019.
PBB menyebut jumlah pegawainya yang tewas di Gaza akibat serangan Israel menjadi yang terbanyak dalam sejarah PBB.
Komite Perlindungan Jurnalis (CJP) melaporkan jumlah jurnalis yang tewas dalam serangan udara Israel di Gaza melampaui jumlah jurnalis yang tewas dalam seluruh konflik sejak 1992.
Kebrutalan serangan balasan Israel membuat dunia murka.
Desakan dari para pemimpin dunia, terutama dari Timur Tengah, Amerika Latin hingga Asia, menuntut Israel menghentikan serangan dan melakukan gencatan senjata dengan Hamas.
Unjuk rasa besar-besaran hampir di seluruh kota besar dunia selama beberapa pekan terakhir: Washington, DC, London, Berlin, Jakarta, Kuala Lumpur, hingga Ankara digelar dengan satu tujuan yakni gencatan senjata segera.