TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah telah merencanakan pelarangan jual beli barang impor lewat niaga elektronik atau marketplace sejak akhir tahun lalu. Sejumlah pihak pun mendorong perubahan aturan, khususnya yang termaktub dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50 Tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha Dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE).
Revisi beleid itu bertujuan untuk menjaga produk dalam negeri dari serbuan barang impor. Dorongan perubahan ini semakin kuat sejak hadirnya social commerce, yakni penggabungan platform media sosial dengan marketplace. Antara lain Project S TikTok Shop. Platform media sosial asal Cina itu dicurigai bakal mempermudah masuknya barang impor murah dan menggangu usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Tanah Air.
Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki kemudian kembali meminta pada Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan untuk mempercepat revisi Permendag Nomor 50 Tahun 2020. Melalui beleid itu, pemerintah akan mengatur perdagangan dalam social commerce tersebut. Diantaranya larangan social commerce merangkap sebagai produsen. Pemerintah juga akan membatasi penjualan barang impor dengan batas minimal US$ 100 per unit.
Sebelumnya, rapat harmonisasi aturan tersebut dijadwalkan pada 1 Agustus 2023 dan dipimpin oleh Kementerian Hukum dan HAM. Namun hingga kini, pemerintah belum ketuk palu soal larangan jual barang impor di marketplace ini.
Kementerian Perdagangan pun membeberkan alasan tak kunjungnya regulasi ini diterapkan. Sekretaris Jenderal Kementerian Perdagangan Suhanto mengungkapkan, kementeriannya telah membuka diskusi dengan perusahaan-perusahaan marketplace di Indonesia. Hasilnya, masih ada poin perubahan yang ditentang oleh perusahaan.
"Soal pembatasan US$ 100 itu masih keberatan, jadi kami mendengarkan masukan dari pelaku usaha," ujarnya saat ditemui Tempo di kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta Pusat pada Jumat malam, 11 Agustus 2023.
Alhasil, menurut Suhanto, pemerintah hingga kini belum mengesahkan hasil revisi Permendag Nomor 50 Tahun 2023.
Selanjutnya: Rencana pembentukan satgas perlindungan UMKM
Sementara itu, Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie sempat berencana membentuk Satuan Tugas atau Satgas Perlindungan UMKM.
Menteri yang baru dilantik pada bulan lalu itu mengatakan pembentukan Satgas Perlindungan UMKM merupakan amanat dari Presiden Joko Widodo alias Jokowi. Menurutnya, Satgas dapat melindungi UMKM dari ancaman social commerce, termasuk Project S TikTok Shop.
Satgas yang dibentuk, tutur Budi, akan melibatkan kementerian dan instansi, seperti dengan Kementerian Perdagangan, Kementerian Koperasi dan UKM, dan lembaga lainnya. Namun, pembentukan Satgas ini menuai kritik, salah satunya dari Institute for Development of Economics and Finance atau Indef.
Ekonom Indef, Nailul Huda menilai keberadaan Satgas tersebut sia-sia. Ia merujuk pada keberadaan satgas-Satgas lainnya yang kerap dibentuk pemerintah saat terjadi masalah. Karena itu, Indef tetap mendorong revisi Permendag Nomor 50 Tahun 2020.
Huda menilai beleid itu masih memiliki banyak kekurangan. Salah satunya adalah definisi social commerce yang tidak dibahas dengan jelas dalam aturan tersebut. Terlebih, perubahan Permendag ini sudah diwacanakan sejak akhir 2022.
"Kalau ada yang menghambat, artinya ada kepentingan yang masuk ke Kemendag (Kementerian Perdagangan)," ucap Huda.
Menurutnya, pemerintah tinggal menambahkan aturan mengenai social commerce dalam Permendag Nomor 50 Tahun 2020. Huda menyayangkan, langkah revisi beleid itu terhenti di kementerian tersebut.
Lebih jauh, Huda menilai barang impor belum diatur secara rinci dalam Permendag tersebut. Bahkan, dalam beleid itu hanya disebut pengutamaan barang lokal. "Di samping pengutamaan barang lokal, ujar Huda, Indonesia juga perlu melakukan restriksi untuk barang-barang impor masuk ke e-commerce atau social commerce. Misalnya, dari sisi tarif atau diskon.