Berbagai pihak, mulai dari mantan pejabat, akademisi, lembaga swadaya masyarakat (LSM) hingga masyarakat mengkritik PP 26/2023 yang mengatur ekspor pasir laut.
Salah satu pengkritik beleid tersebut adalah Mantan Menteri KKP Susi Pudjiastuti lewat media sosial Twitternya @susipudjiastuti. Dia bahkan meminta pemerintah membatalkan PP 26/2023.
"Semoga keputusan ini dibatalkan. Kerugian lingkungan akan jauh lebih besar. Climate change sudah terasakan dan berdampak. Janganlah diperparah dg penambangan pasir laut ," cuit Susi pada Ahad lalu, 28 Mei 2023.
Senada dengan Susi, pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi menyayangkan keputusan Presiden Jokowi. Menurut Fahmy, Jokowi mestinya melanjutkan legacy atau warisan pemerintahan Presiden RI ke-5 Megawati yang melarang ekspor pasir laut sejak 2003 melalui SK Menperindag Nomor 117/MPP/Kep/2/2023.
"Ironis. Di tengah larangan ekspor bijih nikel, Presiden Jokowi justru mengeluarkan izin ekspor laut melalui PP Nomor 26 Tahun 2023," kata Fahmy melalui keterangan tertulis, Rabu.
Padahal, dia menilai kebijakan Jokowi melarang ekspor bijih nikel terbilang heroik. Fahmy mengatakan ekspor pasir laut bisa menyebabkan kerusakan lingkungan dan ekologi yang lebih luas.
Hal tersebut bahkan membahayakan rakyat pesisir. Pengerukan pasir secara ugal-ugalan juga akan menenggelamkan pulau-pulau di sekitarnya.
"Keuntungan ekonomi yang diterima Indonesia atas ekspor pasir laut itu tidak setimpal dengan kerusakan lingkungan dan ekologi yang akan terjadi," tutur Fahmy. Karena itu, dia tidak sepakat dengan kebijakan in dan meminta Jokowi membatalkan izin ekspor pasir laut.
Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Parid Ridwanuddin mengatakan PP yang dikeluarkan ingin mengelabui pikiran masyarakat, karena menghindari istilah penambangan pasir. Penambangan pasir menimbulkan anggapan sangat merusak lingkungan.
"Jadi secara politik bahasa, PP ini ingin membuat kita tidak aware bahwa pemerintah Indonesia akan mengobrol tambang pasir laut," ujar Parid pada Tempo.
Dia juga menyoroti perihal peruntukan pasir laut untuk reklamasi daam PP tersebut. Menurut dia, reklamasi sangat berbahaya. Ini sudah terbukti di beberapa tempat bahwa reklamasi menghancurkan ekosistem laut dan merusak kehidupan nelayan.
"Kami sudah membuat catatan bahwa sampai 2040, ada lebih dari 3,5 juta hektar proyek reklamasi. Angka itu kami dapat dari menganalisis dari 28 dokumen penambangan pasir di Pulau kecil di 28 provinsi.
Selanjutnya: dampak lingkungan seperti abrasi, dialami masyarakat pesisir