Senada dengan Prihasto, anak buah Luhut, Van Basten Pandjaitan menegaskan pemerintah tak akan menggelontorkan uang negara untuk proyek food estate Humbang Hasundutan. Van Basten yang ditunjuk Luhut menjadi manajer lapangan itu menegaskan pemerintah tak mungkin kembali menggelontorkan dana APBN.
Ia yakin lahan megaproyek lumbung itu terbengkalai hanya karena para petani tak sanggup modal untuk biaya produksi. Karena itu dia akan terus mendorong petani swadaya di food estate untuk bermitra bersama perusahaan agar mendapatkan modal untuk menggarap lahan tersebut.
Selain itu, Van Basten menyampaikan ada target yang lebih besar dari penanaman 215 lahan yang sudah dibuka oleh Kementan itu. Pemerintah menargetkan pembukaan lahan selanjutnya hingga 1.000 hektare untuk megaproyek lumbung pangan atau food estate di Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara.
Tenaga Ahli Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi itu mengungkapkan target pembukaan lahan sebesar 1.000 hektare dibuat dengan mempertimbangkan kondisi seluk beluk tanah dan sumber daya manusia (SDM) petani pemilik lahan. Ia optimistis target pembukaan Lahan tercapai pada 2024.
Pemerintah berburu calon investor
Untuk mengejar target tersebut, Van Basten kini gencar menggaet calon investor. "Saya sudah keliling ke tujuh perusahaan yang saat ini menjadi offtaker. Sekarang kami sedang tawarkan empat model usulan kerjasama," anak buah Menteri Luhut Pandjaitan itu saat ditemui di Dolok Sanggul, Humbang Hasundutan, Sumatera Utara pada Kamis, 26 Januari 2023.
Hingga saat ini ada tujuh perusahaan swasta yang sudah menjadi offtaker di food estate Humbang Hasundutan, yaitu PT Parna Raya, PT Indofood, PT Aden Farm, PT Ewindo, PT DSR, PT BISIS, dan PT Champ.
Berdasarkan catatan Bupati Humbang hasundutan, PT Parna Raya bermitra dengan petani untuk komoditas bawang merah dan bawang putih. Sedangkan PT Indofood, PT Eden Farm, PT Ewindo, dan PT Champ untuk komoditas kentang. Sementara PT DSR untuk komoditas kentang, bawang merah, dan buncis. Terakhir PT BISI untuk komoditas jagung.
Ada empat skema yang ia tawarkan kepada calon penyuntik modal. Skema pertama, kerja sama petani dengan perusahaan swasta sebagai offtaker. Berdasarkan MoU, kata dia, perusahaan sudah sepakat akan menyerap seluruh hasil budi daya petani dan meminjamkan benihnya. Sementara pupuk dan tenaga kerja berasal dari petani. Alhasil, petani mendapatkan uang hasil penjualan dikurangi biaya modal.
Kemudian skema yang kedua, semuanya biaya ditangung oleh investor. Contohnya, biaya budi daya kentang sebesar Rp 130 juta, maka investor akan memberikan dana tersebut. Kemudian petani hanya bekerja sebagai tenaga kerja harian. "Anggap lah (upahnya) Rp 80.000 sampai Rp 90.000 per hari. Berarti kalau dia kerja aja selama 25 hari, mungkin sudah dapat Rp 2 juta," ucapnya.
Lalu skema kerja sama yang ketiga, pemerintah akan membuat lahan percontohan. Untuk menggarap lahan ini, pemerintah akan menggaet pusat penelitian dari dalam maupun luar negeri. Lahan itu akan digunakan sebagai pusat pelatihan bagi para petani.
Target pembukaan lahan besar-besaran ini mendapat kecaman dari sejumlah aktivis pegiat lingkungan. Salah satunya yang dimuat dalam laporan Green peace yang berjudul 'Food Estate: Menanam Kehancuran, Menuai Krisis Iklim'.
Berdasarkan laporan tersebut, pembangunan proyek food estate yang dilakukan pemerintah Indonesia disebutkan pengusulan kawasan lumbung pangan mencakup lahan-lahan milik masyarakat adat, lahan gambut kaya karbon, serta kawasan hutan lindung yang berpotensi menciptakan masalah baru di masa depan.
Pembukaan lahan food estate juga berdampak meningkatkan potensi kebakaran lahan gambut dan melepaskan emisi karbon dalam jumlah yang besar. Juru kampanye Hutan Senior Greenpeace, Syahrul Fitra menilai proyek ini tak sejalan dengan janji pemerintah terhadap dunia internasional yang berkomitmen mengurangi emisi karbon untuk mencegah krisis iklim.
Berdasarkan laporan Bank Dunia pada Januari 2022, pencetakan lahan-lahan baru seperti yang dilakukan pemerintah Indonesia melalui proyek food estate telah menyumbangkan sepertiga dari emisi gas rumah kaca global.
Di sisi lain, Syahrul menilai food estate juga dapat memperburuk ketahanan pangan nasional. Pasalnya, food estate akan menyeragamkan pangan masyarakat dan mengurangi kedaulatan pangan masyarakat Indoensia yang beragam.
Sementara itu, Van Basten menilai pengelolaan food estate yang ramah lingkungan akan terjadi seiring berkembangnya teknologi yang digunakan dalam menggarap lumbung pangan itu. Tetapi ia mengaku tak mungkin pemerintah mundur dari proyek ini demi kepentingan lingkungan.
"Iya memang satu sisi kan kita masih butuh pangan. Ya memang itu enggak bisa bohong, lah," kata dia.
Dia berujar proyek food estate mendesak untuk mengurangi importasi pangan di Tanah Air yang ia nilai masih sangat tinggi. Van Basten berujar tanaman yang didorong oleh pemerintah dalam proyek ini juga merupakan komoditas yang tingkat pengadaan dari luar negerinya masih tinggi, seperti bawang putih, gandum, dan gula atau tebu.
Baca juga: Buntut Food Estate Dinilai Gagal, Para Petani Sumut Kini Silang Pendapat
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.