TEMPO.CO, Jakarta - Ketika Taliban kembali berkuasa di Afghanistan pada Agustus 2021 dalam pengambilalihan kilat setelah penarikan pasukan AS, kelompok Islam radikal itu tampaknya ingin menjauhkan diri dari periode awal pemerintahannya pada 1990-an.
Baca juga: NGO Mogok karena Tak Boleh Pekerjakan Perempuan, Taliban: Jangan Ancam Kami
Mereka menampilkan dirinya sebagai kelompok yang lebih moderat dan berkomitmen pada perdamaian. Di antara komitmen barunya saat itu, Taliban berjanji untuk menghormati hak-hak perempuan dalam norma “hukum Islam.”
Juru bicara kelompok itu, Suhail Shaheen, mengatakan pada saat itu bahwa perempuan akan diizinkan untuk melanjutkan pendidikan mereka hingga ke universitas. Ini sebuah terobosan dari pembatasan ketat di bawah rezim Taliban yang berkuasa antara 1996 dan 2001.
Namun, janji pendekatan yang lebih lembut ditanggapi dengan skeptis, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Lebih dari satu juta warga Afghanistan dilaporkan telah melarikan diri sejak Taliban merebut kembali kekuasaan.
Enam belas bulan kemudian, Taliban mengingkari janji mereka. Perempuan dan anak perempuan menghadapi larangan menyeluruh atas pendidikan setelah serangkaian keputusan terus-menerus mengikis hak-hak mereka di hampir semua aspek kehidupan dan menjungkirbalikkan pencapaian yang telah mereka perjuangkan tanpa lelah selama dua dekade terakhir.
Hanya beberapa hari setelah merebut kembali kekuasaan, Taliban mengaktifkan kembali Kementerian Penyebaran Kebajikan dan Pencegahan Kejahatan sebagai pengawas moralitas publik yang bertugas menegakkan hukum Islam versi Taliban. Sejak saat itu, kementerian telah menjadi pusat dari pemotongan sistematis hak-hak perempuan di negara tersebut.
Pekan lalu hanya dalam hitungan hari, Taliban mengebiri sejumlah hak perempuan yang penting. Mereka melarang perempuan Afghanistan menempuh pendidikan tinggi dan juga melarang bekerja di lembaga swadaya masyarakat baik lokal maupun internasional.