Prastowo mengatakan alokasi belanja pusat, yakni DAU, DAK, belanja kementerian dan lembaga, serta subsidi untuk Kabupaten Kepulauan Meranti jauh lebih besar dibandingkan pendapatan negara dari kapbupaten yang berada di Provinsi Riau itu. “Ini esensi pemerataan,” kata dia.
Yustinus menunjukan total belanja negara untuk Kabupaten Kepulauan Meranti sebesar Rp 1,1 trilun. Angka itu meliputi Rp 124,64 miliar dana subsidi atau kompensasi, Rp 118 miliar untuk belanja kementerian dan lembaga, dan Rp 861,2 miliar untuk dana transfer ke daerah atau TKD.
Sementara total penerimaan negara dari Kabupaten Kepulauan Meranti sebesar Rp 453,97 miliar. Angka itu meliputi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp 323,112 miliar dan penerimaan perpajakan sebesar Rp 130,858 miliar. Sehingga selisih belanja negara dan penerimaan negara dari Kabupaten Kepulauan Meranti sebesar Rp 649,921 miliar.
Artinya, kata dia, jika seluruh pendapatan yang diperoleh pemerintah pusat dikembalikan ke Kabupaten Kepulauan Meranti pun nilainya tetap jauh lebih kecil dari alokasi pemerintah pusat untuk daerah tersebut. "Bukankah ini justru menunjukkan dukungan pemerintah pusat yang sangat kuat untuk Daerah. Maka baik kalau kita bahas tuntas," ucap dia.
Menurut Prastowo, hal itu yang menjadi kegelisahan pemerintah pusat ketika mendapati fakta bahwa otonomi daerah membutuhkan penguatan. Salah satu strategi Kemenkeu adalah membuat kebijakan fiskal yang berpihak pada penurunan ketimpangan atau kemiskinan.
Selain itu, juga penguatan kapasitas daerah melalui harmonisasi belanja yang efektif. Alhasil, lahirlah Undang-undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD).
Dia pun menjelaskan DBH adalah bagian dari TKD yang dialokasikan berdasarkan persentase atas pendapatan tertentu dalam anggaran penerimaan dan belanja negara (APBN) serta kinerja tertentu. Dana itu dibagikan kepada pemerintah daerah penghasil dengan tujuan mengurangi ketimpangan fiskal antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Selain itu, konsep baru DBH dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang HKPD juga memberikan dana kepada pemerintah daerah lain yang bukan penghasil sumber daya alam. Tujuannya dalam rangka menanggulangi eksternalitas negatif dan/atau meningkatkan pemerataan dalam satu wilayah.
"Jadi paradigmanya Indonesia-sentris. Tumbuh bahagia bersama, tidak egois," tutur Prastowo.
Selanjutnya TKD sendiri adalah dana yang bersumber dari APBN dan merupakan bagian dari belanja negara. Dana itu dialokasikan dan disalurkan kepada pemerintah daerah untuk dikelola dalam rangka mendanai penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
Lalu ada dana TKD yang juga termasuk DBH dan diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang HKPD. Aturan itu menggantikan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. "Ini babak baru Otonomi," ujarnya.