Ia juga menyebutkan ada sekitar 500 ton beras impor selundupan yang bisa masuk ke Pelabuhan Batam setiap harinya. Billy berujar jenis beras yang masuk ke Batam tidak hanya beras khusus, tetapi juga beras konsumsi atau umum.
Ia menjelaskan setelah sampai di Batam, beras disalurkan ke beberapa wilayah, seperti Jambi, Selat Panjang, Tanjungpinang, dan Dumai. Akan tetapi, beras selundupan itu, menurut Billy, tidak bisa masuk ke Jawa karena adanya pengawasan ketat oleh pemerintah.
"Kalau Jakarta ketat sekali, pasti lapor Presiden. Kalau ke Jawa 1 kilo pun ngga berani mereka, pasti Presiden marah,” ucap Bily. Beras impor selundupan itu dijual lebih murah Rp 2.000 per kilogram dibandingkan rata-rata pasar. “Bedanya jauh, murah."
Adapun Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan Said Abdullah menduga penyelundupan impor beras terjadi ketika harga beras dalam negeri naik. Modusnya, bisa melalui impor beras khusus tetapi disusupi beras biasa atau melalui penyelundupan ilegal.
Ia khawatir kenaikan harga bakal kembali dijadikan alasan pemerintah melakukan impor selain berkurangnya cadangan beras di gudang Bulog. "Jika situasi ini sekarang dimanfaatkan juga oleh kelompok mafia, bukan tidak mungkin terjadi impor," ujarnya. Terlebih, biasanya alasan impor beras diperkuat dengan argumentasi resesi pangan global.
Bila pemerintah akhirnya membuka keran impor, Said menilai petani langsung tak bersemangat menanam padi kembali dan persoalan beras akan semakin melebar. Oleh karena itu, menurut dia, solusi yang bisa dipilih tak melulu lewat kebijakan impor.
Selain memastikan bahwa para pedagang dan pengusaha beras tidak menahan beras di gudang mereka, menurut dia, pemerintah harus memberi keleluasaan pada Bulog untuk bersaing dengan pedagang gabah. Sebab, saat ini Bulog hanya mampu menyerap kurang dari 10 persen dari total produksi gabah nasional dan sisanya dikuasai oleh pedagang. "Jangan sampai impor didahulukan."
Hal senada disampaikan oleh Andreas. Ia menilai keputusan impor hanya akan memukul petani. Padahal baru kali ini petani menikmati harga yang relatif baik, terutama pada musim ketiga ini. Apalagi sejak Maret hingga Juni, harga GKP jatuh di bawah Rp 4.200 per kilogram alias di bawah HPP.
Proses impor yang tidak terjadi sekaligus melainkan bertahap, menurut Andreas, juga akan membuat petani dalam kondisi panen payah dan jauh merugi. "Sehingga kalau pemerintah mewacanakan impor saat itu, akan menyakitkan sedulur-sedulur petani," ucapnya.
RIANI SANUSI PUTRI | MOH KHORY ALFARIZI | DEFARA DHANYA PARAMITHA
Baca juga: Harga Beras Dunia Naik, Badan Pangan Nasional Mulai Operasi Pasar
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.