Pada Juni 2022, harga GKP di sentra produksi di 47 kabupaten sebesar Rp 3.984 per kilogram, dan sebulan kemudian, pada Juli harganya langsung melonjak ke Rp 4.783 per kilogram. "Ketika harga GKP melonjak itu, saya sudah sampaikan ke teman-teman di pemerintah, hati-hati ini dengan beras. Karena lonjakannya ini sangat tinggi," ujarnya saat dihubungi Tempo, Rabu, 12 Oktober 2022.
Berikutnya, pada Agustus 2022, harga GKP kembali naik menjadi Rp 5.057 per kilogram dan pada September, harganya sudah Rp 5.088 per kilogram. Bahkan, dalam laporan terakhir dari jaringan tani miliknya, harga GKP di beberapa tempat sudah di atas Rp 6.000 per kilogram.
Artinya, lonjakan harga gabah itu sebentar lagi akan berimbas pada kenaikan harga beras yang relatif tinggi. Terlebih musim paceklik masih akan berlansung dalam lima bulan ke depan, di mana tingkat konsumsi jauh melampaui tingkat produksi. "Jadi ini, saya sudah sampaikan. Hati-hati dengan harga beras," ucapnya.
Sementara itu, Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan Said Abdullah menilai kenaikan harga gabah lantaran ada kenaikan biaya produksi. Sedangkan kenaikan biaya produksi merupakan imbas dari naiknya harga bahan bakar minyak (BBM)
Sebab, menurut dia, kenaikan biaya produksi itu seharusnya diikuti dengan penyesuaian atau kenaikan harga pembelian pemerintah (HPP). Bila tidak, maka petani yang akan menangung kerugian terbesar. Adapun saat ini HPP gabah kering panen atau GKP hanya sebesar Rp 4.200 per kilogram, sementara biaya produksi tembus Rp 5.800 per kilogram.
Terkait permintaan untuk menaikkan HPP gabah itu, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Syailendra mengungkapkan saat ini Badan Pangan Nasional tengah melakukannya. Harga gabah di tingkat petani pun diklaim masih bagus, sehingga Bulog diminta ikut memaksimalkan penyerapan.
"Kalau dari data yang disampaikan teman-teman di kementerian lain yang terkait itu produksi, kita masih surplus. Jadi kita minta supaya Bulog segera menyerap. Kan produksi banyak," kata dia.
Syailendra juga memastikan tidak ada masalah dalam urusan stok kebutuhan beras di dalam negeri. Sebab, pemerintah masih menguasai stok beras di Perum Bulog 700 ribu ton.
Sedangkan, data realisasi stok beras yang ada di masyarakat maupun di Bulog sebanyak 2 juta ton. “Termasuk yang di masyarakat segala macam itu angkanya di atas 2 juta ton. Cukup, lah,” ucap Syailendra.
Selanjutnya: Bulog sudah diperintahkan menyerap beras petani.