TEMPO.CO, Jakarta - Sudah sekitar 16 menit Mamay memarkir angkotnya di pinggir Jalan Pondok Kopi Raya, depan Stasiun Klender Baru, Jakarta Timu pada Selasa, 6 September 2022. Pria berusia 45 tahun itu mengeluhkan jumlah penumpang yang naik angkotnya anjlok drastis usai pengumuman kenaikan harga BBM pada akhir pekan lalu.
Pagi itu ia masih terus menanti penumpang yang bakal menyewa jasa antar perjalanannya. Sudah selama itu menanti, akhirnya seorang penumpang menaiki angkot berwarna merah bata itu.
Waktu menunjukkan pukul 08.45 WIB. Mamay masih terus menunggu beberapa saat, berharap ada calon penumpang lain yang masuk ke dalam angkotnya. Namun penumpang angkot nomor K30 trayek Kranji - Klender itu tak kunjung bertambah, hingga akhirnya Mamay memutuskan untuk menyalakan mesin dan mengemudikannya.
Pria yang sudah bekerja sebagai sopir angkot sejak 10 tahun lalu itu mengatakan jumlah penumpang angkot makin sepi setelah pemerintah resmi mengumumkan kenaikan BBM, termasuk BBM bersubsidi, Sabtu lalu. 3 September 2022.
"Dampak BBM naik ya ini. Sekarang kalau masalah sewa kurang, penumpangnya, kondisi lagi begini kan, apalagi kita habis pandemi," kata Mamay saat ditemui sebelum beranjak dari tempat ngetemnya.
Sepi penumpang, pendapatan berkurang
Padahal, saat pelonggaran pembatasan aktivitas selama pandemi Covid-19 lalu, sebetulnya jumlah penumpang sudah hampir menyamai masa-masa belum wabah merebak. Namun kini, jumlah penumpang angkot kembali sepi.
Dia menduga hal tersebut karena penumpang mulai menghitung ulang biaya transportasinya usai kenaikan harga BBM. Mamay mengaku di hari-hari di masa pandemi, penghasilannya bisa mencapai Rp 250 ribu sehari.
"Sejak pandemi bawa Rp 100 ribu, kadang Rp 50 ribu lagi. Nah BBM naik apalagi, sekarang sudah sepi banget. Kalau bisa pemerintah tolong, lah," kata Mamay.
Kondisi yang sama dialami Dedi Junaidi. Pria yang sudah 20 tahun menjadi sopir angkot trayek K30 ini juga sudah ngetem hampir 20 menit di pertigaan antara Jalan Bintara dan Jalan Raya Pondok Cipta, Jakarta Timur. Tapi tak ada satupun penumpang yang naik memasuki angkotnya.
Dedi hanya bisa menyibukkan diri menghitung bolak balik beberapa lembar uang pecahan Rp 2.000 dan Rp 5.000 di tangan yang dipegang hanya dengan dua jarinya.
"Sewa bukannya ada, malah menghilang. Soalnya mereka kayaknya takut atau bagaimana ya, soalnya kita naikin tarifnya," ucap Dedi.
Selanjutnya: "Kita tekor kalau gak naikin tarif."