Azyumardi menilai ritual semacam ini juga tidak substantif bila dikaitkan dengan keberagaman. Ia mengatakan Nusantara (nama resmi IKN) dan ritualnya disebut banyak kalangan sebagai Majapahit atau Jawa-sentris. "Sama sekali tidak mencerminkan penghargaan pada keberagaman Indonesia," ujar Guru Besar Sejarah ini.
Dibandingkan ritual pengisian tanah dan air ke kendi, Ia lebih mendorong representasi masing-masing dari 34 provinsi dalam menyongsong masa depan maju. "Bukan representasi tunggal Majapahit yang tidak lagi relevan menjawab tantangan untuk memajukan Indonesia," kata dia.
Ubedilah juga mengatakan ritual ini adalah sebuah praktik baru yang mengada-ada. Sebab, tidak pernah juga ada riwayat dalam tradisi kerajaan Majapahit maupun Sriwijaya, di mana mereka membawa tanah dan air dari semua wilayah untuk membangun ibu kota.
Sementara dari sisi politik, ritual semacam ini juga dinilai bisa menandakan pemerintah pusat mulai dikritik oleh pemerintah daerah. Sehingga, pusat mengetes ketaatan kepala daerah, apakah ikut datang membawa tanah dan air, atau tidak.
Seharusnya, kata dia, ketaatan kepala daerah harus dilihat dari kinerjanya yang lebih berpihak kepada masyarakat. "Mungkin para gubernur juga bingung, udah ikutin ajalah, ya cuma kita ketawalah," kata Ubedilah.
Pada akhirnya, Ubedilah menilai ritual ini menunjukkan masih ada suatu kesadaran irasionalitas di pemerintahan saat itu. "Itu juga menunjukkan keaslian pikirannya irasional seorang presiden, kalau itu idenya presiden," kata dia.
Bondan juga menyebut ritual saat pindah ibu kota semacam ini merupakan hal yang baru. Indonesia sudah pernah pindah ibu kota ke Yogyakarta dan kembali ke Jakarta, tapi tak pernah ada ritual apapun. "Dulu kan situasinya masa revolusi, tentu gak ada ritual, karena untuk kebutuhan strategis akibat agresi militer Belanda kedua," kata dia.
Tapi di luar ritual ini, Bondan menyebut masih banyak aspek yang perlu dibicarakan agar proyek ini bisa berkesinambungan. "Jangan sampai setelah Pemilu berikutnya, nggak berlanjut karena Presiden baru punya agenda berbeda, ini kan jadi buang energi," kata dia.
Membangun IKN, kata dia, bukanlah pekerjaaan mudah. Pemerintah harus bisa menjamin kemaslahatannya bagi masyarakat, sumber pembiayaan, hingga grand design yang matang dan tidak terpotong-potong.
Bondan mengkritik diskusi proyek IKN ini yang dianggapnya masih terlalu elit. Proyek ini dilempar oleh pemerintah eksekutif dan direspons oleh pimpinan partai dan tokoh penting masyarakat.
Akan tetapi, masyarakat justru tidak didengar suaranya. Pemerintah, kata dia, tidak berupaya menjelaskan secara rinci ke masyarakat di bawah memperkenalkan IKN, menjelaskan alasan harus pindah, dan menerangkan kalau nanti sudah pindah akan menjadi seperti apa. "Itu nggak pernah dijelaskan," kata dia.
FAJAR PEBRIANTO