Anggota Komisi Hukum DPR lainnya, Arsul Sani mengatakan akan meninjau perjanjian ekstradisi yang ditandatangani oleh pemerintah Indonesia dengan Singapura. Ia mengingatkan jangan sampai perjanjian ini lebih banyak menguntungkan Singapura.
"DPR akan melihatnya nanti, apakah perjanjian ekstradisi itu mengulang tidak, di-bundling dengan kata-kata perjanjian lain yang kita tahu di tahun 2007, kalau tidak salah zaman pemerintahan Pak SBY kan juga pernah dibuat perjanjian yang sama," kata Arsul.
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana melihat pemerintah terlalu menglorifikasi perjanjian ekstradisi seakan menjadi salah satu pencapaian yang langsung berlaku.
Padahal setiap penandatangan perjanjian ekstradisi masih harus diikuti dengan proses pengesahan atau ratifikasi oleh DPR. Setelah itu dilakukan pertukaran dokumen ratifikasi antara Indonesia dan Singapura, baru kemudian perjanjian ekstradisi berlaku.
"Glorifikasi sangat tidak berdasar jika Singapura masih mensyaratkan perjanjian ektradisi berlaku dikaitkan dengan berlakunya perjanjian pertahanan yang sangat berpihak pada kepentingan Singapura."
Pada 2007, kata dia, Presiden tidak mengirim surat Presiden ke DPR untuk pembahasan perjanjian ekstradisi karena publik tidak setuju dengan perjanjian pertahanan. Atas alasan tersebut perjanjian ekstradisi tidak pernah mendapat pembahasan, apalagi pengesahan dari DPR.
Terakhir,ujar Hikmahanto, glorifikasi sangat tidak berdasar karena belakangan Singapura sangat koperatif bila ada permintaan dari Indonesia terkait buron tertentu meski perjanjian ekstradisi belum efektif berlaku. "Perubahan sikap Singapura ini karena Sinagpura tidak ingin dipersepsi oleh publik Indonesia sebagai tempat pelarian pelaku kejahatan kerah putih," ujarnya
IMAM HAMDI | FRISKI RIANA | DEWI NURITA | EGI ADYATAMA