Kesiapan Rumah Sakit
Kebijakan KRIS ini sebenarnya merupakan konsekuensi dari penerapan Kebutuhan Dasar Kesehatan (KDK) yang tertuang di Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Secara sederhana, KDK ini akan membuat pasien BPJS menerima layanan standar. Kalau mau layanan, maka harus ikut asuransi tambahan.
Dalam rapat di Komisi Kesehatan DPR pada 25 Januari 2022 lalu, anggota DJSN Iene Muliati mengatakan sudah menggelar lima konsultasi publik dengan pemerintah daerah, asosiasi fasilitas kesehatan, hingga masyarakat. Lalu, self assesment juga sudah dilakukan dengan 1.916 RS dan 144 RS TNI dan Polri.
Dari 144 RS TNI dan Polri yang ikut self assesment, kata Iene, sebanyak 74 persen siap ikut menjalankan KRIS ini. Meskipun, ada 74 persen yang masih butuh penyesuaian infrastruktur skala kecil, dan 26 skala sedang hingga besar.
Sementara dari 1.916 RS lain, sebanyak 80 persen sudah siap dengan KRIS. “Walau 78 persen perlu penyesuaian infrastruktur skala kecil,” ujarnya.
Regulasi Masih Disusun
Pemerintah punya waktu sampai akhir tahun 2022 untuk memulai kebijakan KRIS. Sebelum memulai KRIS, pemerintah akan melakukan finalisasi terlebih dahulu terhadap KDK yang akan dituangkan dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres) yang ditangani oleh Kementerian Kesehatan.
Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti mengatakan KDK ini sudah dibahas sejak 2020 sampai sekarang. “Salah satunya perhitungan dampak biaya atas penyusunan manfaat JKN sesuai KDK,” kata dia.
Sementara itu KRIS, pihaknya yang menangani yaitu DJSN. Meski demikian, BPJS Kesehatan sudah ikut melakukan survei terhadap 2.740 responden. Hasilnya, Ali menyebut separuh dari responden mendukung standarisasi fasilitas dan pelayanan kesehatan sesuai prinsip KRIS.
“Oleh karena itu kami bisa simpulkan, implementasi KDK dan KRIS dilakukan secara bertahap mempertimbangkan kesiapan peserta dan fasilitas kesehatan,” kata dia.
Selain Perpres soal KDK, Kementerian Kesehatan pun juga sedang merevisi Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 51 Tahun 2018 tentang Pengenaan Urun Biaya dan Selisih Biaya Dalam Program Jaminan Kesehatan. Ini berkaitan dengan asuransi tambahan atau selisih biaya yang harus dipakai pasien BPJS yang ingin naik kelas, akibat dampak KDK.
Menurut Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, perubahan Permenkes soal mekanisme selisih dan urun biaya ini bertujuan untuk mengefisiensikan pembayaran iuran pasien BPJS Kesehatan. Lantaran selama ini terjadi duplikasi pembayaran iuran oleh peserta BPJS yang juga memiliki asuransi kesehatan tambahan (AKT) dari swasta.
"Kalau bisa porsinya BPJS di-cover BPJS, sisanya kalau mereka mau ambil kelas lebih baik otomatis di-cover asuransi swasta tanpa ada duplikasi biaya iuran,” kata dia.
Budi mencontohkan seorang pasien BPJS yang juga ikut asuransi swasta dan mau operasi usus buntu. BPJS hanya menanggung biaya operasi Rp 7,3 juta. Sementara, pasien tadi mau naik kelas VIP dan tagihannya menjadi dua kali lipat, Rp 14,59 juta.
Karena ada mekanisme urun biaya, maka asuransi swasta sebenarnya tak perlu lagi menanggung biaya operasi Rp 14,59 juta tersebut karena sudah ditanggung separuhnya oleh BPJS. Walhasil, Budi menyebut mekanisme ini seharusnya bisa membuat premi pasien tersebut di asuransi swasta turun.
Kalaupun preminya tetap dan mendapatkan biaya tanggungan operasi dari asuransi swasta 100 persen alias Rp 14,59 juta, maka pasien tadi seharusnya sudah bisa naik sampai ke kelas VVIP atau Super VIP. “Kombinasi benefit ini yang kami bikin aturannya, sehingga pengeluaran uang peserta jadi efisien,” kata dia.