TEMPO.CO, Jakarta -Rencana pemerintah untuk menerapkan sistem Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) bagi pasien BPJS Kesehatan di tahun ini masih menyisakan sejumlah persoalan. Pengurus Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) Tonang Dwi Ardyanto misalnya, menilai masih ada beberapa aspek dalam rencana ini yang masih harus diperjelas dengan pengelola rumah sakit.
Menurut Tonang, konsekuensi dari KRIS ini sangat beragam. Salah satunya terkait perubahan tarif Indonesia Case Based Groups (INA CBGs) hingga penerapan iuran tunggal yang harus dibayarkan pasien. Lantaran selama ini, tarif dan iuran tersebut menyebabkan perbedaan layanan antar pasien.
“Perubahan tarif di RS ini perlu diperjelas, karena RS perlu kejelasan dalam menghitung investasi dan risiko,” kata Tonang yang juga Wakil Direktur Pendidikan dan Penelitian RS Universitas Sebelas Maret, saat dihubungi, Kamis, 27 Januari 2022.
Tarif INA CBGs adalah rata-rata biaya yang dihabiskan untuk suatu kelompok diagnosis, kapitasi hingga iuran BPJS Kesehatan yang dibayarkan pemerintah kepada rumah sakit atau fasilitas layanan kesehatan.
Ia mengatakan PERSI sangat mendukung rencana penerapan KRIS yang harus berlaku efektif 1 Januari 2023 tersebut. Meskipun ia menyadari pihak RS harus mengubah kondisi fisik dari ruang rawat inap hingga tata kerja akibat KRIS ini.
Tak hanya itu, Tonang menyebut kejelasan juga diperlukan terkait tahapan penerapan KRIS. Dewan Jaminan Sosial Negara (DJSN) telah menyiapkan tahapan perencanaan KRIS ini sampai 2024. Sebab, ada aspirasi dari sejumlah pengelola rumah sakit agar KRIS ini langsung berlaku sekali proses, dari tiga kelas saat ini menjadi kelas tunggal. “Ada yang berpikir begitu, biar gak dua kali kerja,” kata dia.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) Ichsan Hanafi menyoroti dampak negatif yang bakal muncul akibat kebijakan KRIS ini. Kebijakan ini, kata dia, bakal mengurangi kapasitas tempat tidur yang terpasang di rumah sakit swasta. Akibatnya, potensi pendapatan rumah sakit akan seret.
"Ini tidak mudah bagi kami di rumah sakit swasta, makanya kami minta regulasinya dibahas bersama-sama," kata Ichsan.
Tak hanya itu, Ichsan menyebutkan, rumah sakit harus mengalokasikan dana investasi yang relatif besar untuk merenovasi bangunan apabila tidak memenuhi kriteria KRIS. Sedangkan perluasan rumah sakit juga tak selalu mudah dilakukan jika terkendala lahan.
Anggota DJSN Muttaqien memastikan aspirasi dari para pihak ini akan menjadi masukan penting dari rencana kebijakan KRIS ini, baik itu PERSI, ARSSI, maupun Asosiasi Rumah Sakit Daerah Seluruh Indonesia atau ARSADA. “Tarif INA CBGs memang menjadi salah satu poin penting dalam skema perbaikan ekosistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ini,” kata dia.