Seorang pedagang penukaran uang Afghanistan menunggu pelanggan di pasar pertukaran uang, menyusul pembukaan kembali bank dan pasar setelah Taliban mengambil alih di Kabul, Afghanistan, 4 September 2021. REUTERS/Stringer
Krisis ekonomi adalah tantangan yang paling sulit. Afghanistan kehilangan ekonom-ekonomnya ketika Taliban secara resmi mengambil alih pemerintahan pada 15 Agustus lalu. Ekonom-ekonomi itu kabur ke negara lain, mengikuti gelombang evakuasi yang berakhir pada 31 Agustus lalu.
Hal itu diperburuk dengan dibekukannya aset-aset Afghanistan di luar negeri. Negara-negara tetangga khawatir Taliban akan memanfaatkan aset Afghanistan untuk aktivitas terorisme. Nilai aset yang dibekukan pun fantastis, miliaran Dollar Amerika.
US Federal Reserve, menurut situs United States Institute of Peace, membekukan cadangan mata uang asing Afghanistan senilai US$7 miliar. Hal itu membuat bank-bank di Taliban tidak bisa melakukan aktivitas penukaran uang. Dampaknya bisa nilai tukar yang kian menurun plus hyperinflasi.
Dana Moneter Internasional (MIF) melakukan hal senada. Mereka membekukan akses Afghanistan ke dana bantuan IMF, Special Drawing Rights. Salah satu dana bantuan bernilai US$450 juta yang dipersiapkan sebagai respon pandemi COVID-19 dan sejatinya bisa diakses secara mudah. Singkat kata, Afghanistan bisa kian miskin,
"Bagi Taliban, waktu penting (untuk mendapat dukungan warga Afghanistan). Mendorong pemasukan dan memberi nafas segar ke perekonomian Afghanistan adalah target dan tantangan utama mereka sekarang," ujar salah satu pejabat regional yang enggan disebutkan namanya, dikutip dari Reuters.
Di Kabul, krisis ekonomi sudah terasa di kalangan warga Afghanistan. Mereka berbondong-bondong menjual barang-barang pribadi untuk mendapatkan pemasukan ekstra, agar keluarga bisa makan cukup. Namun, daya beli yang juga menurun membuat barang-barang yang mereka jual pun nilainya jatuh.
Selain itu, tidak sedikit warga yang kehilangan pekerjaan sejak Taliban mengambil alih pemerintahan. Pegawai negeri atau pelayan publik termasuk yang ketiban sial. Mereka sekarang menganggur dan Taliban tak kunjung memberikan kepastian apakah mereka akan mendapatkan pekerjaan lagi.
Salah satunya dialami oleh Abdullah, mantan tentara Afghanistan. Ia sempat mendapat pemasukan bersih US$200 per bulan, cukup untuk menafkahi keluarganya. Sekarang ia bekerja menjadi buruh kasar dengan pendapatan seadanya.
"Saya sudah melakukan apa yang perlu saya lakukan. Saya mengabdi kepada negari ini dan sekarang saya harus mengais-ngais, bekerja kasar untuk bisa menafkahi kedelapan anak saya," ujar Abdullah, dikutip dari Al Jazeera.