TEMPO.CO, Jakarta - Nyaris satu setengah tahun pendapatan Satya Winnie jeblok hingga 90 persen. Travel influencer yang tinggal di Bali ini kehilangan banyak proyek promosi pariwisata selama pandemi Covid-19 karena kliennya yang sebagian besar merupakan perusahaan agen perjalanan memangkas habis biaya pemasarannya.
“Placement-placement tinggal 10 persen. Dulu aku trip hampir enggak pernah berhenti. Pulang ganti koper, lalu berangkat lagi,” ujar Satya kepada Tempo, Rabu malam, 16 Juni 2021.
Tak lagi dapat borongan proyek promosi wisata, kini pekerjaan Satya sebatas menggarap kampanye lingkungan atau kegiatan-kegiatan lainnya yang berhubungan dengan gaya hidup. Klien-kliennya yang tersisa pun tinggal perusahaan non-agen wisata, seperti badan usaha asuransi atau provider.
Kondisi serupa, kata Satya, juga dirasakan oleh kolega-koleganya yang tinggal di Pulau Dewata. Para pelaku wisata, khususnya sopir travel dan pekerja hotel, harus menelan pil pahit lebih lama karena geliat pariwisata belum kunjung menggembirakan.
Pergerakan wisatawan domestik yang gencar didorong pemerintah nyatanya hanya menggerakkan kantong-kantong destinasi tertentu. “Yang ramai paling hanya kawasan Canggu, Seminyak, Nusa Dua, Uluwatu,” kata Satya. Sisanya, seperti Ubud, Kuta, dan Bali bagian utara nyaris nyenyat.
Sejatinya, para pelaku wisata sudah berharap memperoleh angin segar ketika pemerintah mengumumkan akan membuka Bali untuk wisatawan asing. Bagi travel influencer dan pelau usaha perjalanan, kebijakan ini dianggap bisa memulihkan ekosistem pariwisata bila dilakukan dengan hati-hati dan pertimbangan yang matang.
Namun, harapan tinggal harapan. Saat angka kasus Covid-19 kembali melonjak dan pemerintah harus memikirkan ulang pembukaan pintu gerbang wisata Bali untuk turis asing, para pelaku usaha pariwisata kembali menarik napas dalam. “Ada kekecewaan itu, tapi saat ini mereka sudah lebih legawa,” ujar Sayta.
Pemerintah masih maju-mundur membuka pintu gerbang Bali bagi wisatawan asing. Program travel corridor arrengement atau TCA—juga dikenal dengan istilah travel bubble--yang semula dijadwalkan berlangsung Juni-Juli belum pasti berjalan sesuai rencana lantaran angka Covid-19 melonjak tajam di berbagai daerah pasca-libur Idul Fitri 1442 Hijriah.