Soal aman atau tidaknya sertifikat tanah elektronik, menurut Ida, kembali kepada seberapa jauh teknologi dapat mendukung produk tersebut. Tetapi, dari perspektif hukum, masalahnya lebih dari sekadar aspek teknisnya, yaitu aspek perlindungan hukum pemegang sertifikat elektronik tersebut. "Sepanjang proses dan prosedur serta sistem publikasi dari pendaftaran tanah tsb belum dapat menjamin kepemilikan hak seseorang, maka aspek keamanan e-sertifikat cukup rawan," kata dia.
Pakar keamanan siber dari vaksincom, Alfons Tanujaya mengatakan digitalisasi sertifikat tanah adalah efisiensi yang sangat baik. Selain nanti sifatnya akan lebih efisien, sertifikat digital juga seiring tren digitalisasi yang dilakukan seluruh dunia.
Namun, ia mengingatkan digitalisasi adalah proses panjang yang tidak berkesudahan. Artinya, sekali pemerintah menaruh data publuk di dunia maya, maka layanan harus tersedia selama 1x24 jam dan selama 365 hari setahun. Alfons pun mengingatkan bahwa ada ancaman nyata dari digitalisasi, yaitu data bisa diakses semua pihak.
"Keamanan data bisa dilihat dari banyak kasus. Di mana Linkedin datanya pernah bocor, e-commerce juga. Itu jangan membuat takut digitalisasi. Tapi itu harus membuat kita belajar agar data ini tidak bocor," kata Alfons.
Untuk itu, dalam pengelolaan data publik, Alfon mengingatkan perlunya standar yang jelas. Ia mengusulkan pemerintah mengikuti ISO 270001 atau standar internasional penerapan sistem manajemen keamanan informasi (information security management systems/ISMS).
Selama ini, kata Alfon, ISO 27001 menjadi indikator suatu perusahaan memiliki standar keamanan digital yang mumpuni, salah satunya untuk mengamankan sertifikat tanah elektronik. "Jadi, siapapun yang mau mengelola data publik harus penuhi standar itu baru luncurkan layanannya," tutur dia.
CAESAR AKBAR | EGI ADYATAMA