Direktur Jenderal Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN Suyus Windayana mengatakan kasus mafia tanah tersebut menjadi salah satu pertimbangan pemerintah menerapkan layanan elektronik. Pasalnya, dokumen-dokumen fisik mudah sekali dipalsukan.
Dengan sistem elektronik, ia mengatakan petugas bisa mengecek tak hanya data yang terlampir di dokumen fisik, namun juga data lain seperti sidik jari, mata, dan lainnya. BPN pun akhirnya bisa memastikan bahwa tanah tersebut ditransaksikan oleh pemilik hak atas tanah tersebut.
Nantinya, sertifikat elektronik juga tidak perlu lagi dibawa ke kantor BPN untuk dilakukan pengecekan secara fisik. "Ke depan sertifikat elektronik bisa dicek saat itu juga. Apakah sertifikat itu sama dengan yang ada di database atau tidak jadi ini memang proses-proses yang akan kita minimalkan untuk ke depan apabila kita sudah menggunakan teknologi elektronik," ujar Suyus.
Kepala Pusat Data dan Informasi Pertanahan, Tata Ruang, Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Kementerian ATR/BPN, Virgo Eresta Jaya, menambahkan, keamanan sertifikat tanah digital juga dapat dijamin. Sebab, seluruh proses pengamanan informasi menggunakan teknologi persandian seperti kriptografi oleh Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).
"Di dalam sertifikat elektronik akan dijamin keutuhan data yang berarti datanya akan selalu utuh, tidak dikurangi atau berubah dan untuk kerahasiaan kita sudah dilindungi oleh pengamanan dengan menggunakan teknologi persandian dari BSSN," ujarnya. Selain itu, sertifikat elektronik juga akan menggunakan hashcode, QR Code hingga single identity.
Anggota Komisi II DPR RI Guspardi Gaus mengingatkan agar kebijakan sertifikat tanah elektronik jangan menambah beban masyarakat, dan tidak serta merta diterapkan di seluruh wilayah Indonesia. Yang terpenting, kebijakan sertifikat elektronik harus transformatif, sehingga berdampak baik untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan meminimalisir kasus pertanahan serta jangan menimbulkan misinformasi di masyarakat.
“Penerapannya juga perlu kehati-hatian dan keseriusan karena menyangkut keamanan data dan membutuhkan dana yang besar. Prinsip akuntabilitas harus dijaga untuk menghindari kebijakan ini dijadikan lahan korupsi baru,” pesan Guspardi dalam keterangan tertulis.
Guru Besar Ilmu Hukum Agraria Fakultas Kehutanan Universitas Padjadjaran Bandung (Unpad) Ida Nurlinda menilai langkah pemerintah menggenjot sertifikasi tanah elektronik sejatinya tidak salah. Namun, ia menilai masih ada persoalan agraria yang perlu diprioritaskan, misalnya soal sengketa tanah dan konflik lahan.