"Idealnya subsidi upah diberikan selama belum ada normalisasi kegiatan ekonomi secara penuh," ujar Shinta ketika dihubungi.
Shinta mengatakan subsidi upah memiliki dampak positif untuk mempertahankan daya beli masyarakat dan menjaga masyarakat dari kemiskinan ekstrim. Ia mengusulkan subsidi upah dikhususkan ke sektor-sektor yang proses normalisasi kinerjanya relatif sulit dan lambat. Sehingga, pekerja di sektor tersebut tetap memiliki standar hidup yang layak dan tidak jatuh ke kemiskinan ekstrem.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance Bhima Yudhistira Adhinegara menilai pemerintah perlu melanjutkan bantuan subsidi upah itu setidaknya sampai serapan tenaga kerja pulih. Apalagi di masa pandemi ini tingkat pengangguran dan pekerja yang dirumahkan masih tinggi.
Di samping itu, masih ada pembatasan sosial dan angka kasus harian cukup tinggi membuat masyarakat tahan belanja. Kalau pekerja tidak dibantu, maka besar kemungkinan perusahaan terus lakukan PHK.
"Kerugian bagi daya beli masyarakat menengah ke bawah tentu signifikan tanpa dibantu subsidi upah. Justru besar harapan subsidi upah dilanjutkan ke seluruh pekerja sektor informal dengan gaji di bawah Rp 5 juta," tutur Bhima.
Adapun untuk besaran subsidi upah, ia menyarankan dinaikkan menjadi Rp 1,2 juta per bulan. Sehingga, dengan asumsi 5 bulan penyaluran, minimum Rp 6 juta bisa dikantongi pekerja.
Di sisi lain, Bhima menilai bantuan subsidi upah bisa lebih efektif ketimbang program Kartu Prakerja karena saat ini orang lebih membutuhkan dana tunai untuk keberlangsungan hidup mereka. "Ibaratnya pekerja saat ini tidak butuh pelatihan online, tapi butuh cash untuk langsung dibelanjakan," tuturnya.
Baca: Jika Subsidi Upah Tak Dilanjutkan, KSPI: Akan Ada Ledakan PHK Jutaan Buruh