TEMPO.CO, Jakarta - Rancangan Peraturan Presiden tentang Tugas Tentara Nasional Indonesia dalam Mengatasi Aksi Terorisme menuai banyak catatan. Kritik bukan hanya datang dari kelompok masyarakat sipil, tetapi juga dari Dewan Perwakilan Rakyat.
Komisi Hukum (Komisi III) DPR memberikan delapan poin catatan terkait rancangan Perpres TNI tangani teroris. Dalam salinan surat tertanggal 18 November bertanda 'Penting', pemerintah diingatkan untuk berhati-hati dalam menyusun perpres tersebut. Surat itu diteken Wakil Ketua Komisi Hukum DPR Desmond Junaidi Mahesa.
"Mengingatkan kembali bahwa pada prinsipnya sebuah peraturan presiden sebagai delegasi undang-undang tidak mengatur norma baru, sehingga diperlukan kehati-hatian," demikian tertulis dalam surat tersebut, dikutip Senin, 30 November 2020.
Ketua Komisi Hukum DPR Herman Herry dan Desmond membenarkan surat bernomor 362-DW/KOM.III/MP.II/XI/2020 itu. Pandangan ini menindaklanjuti penugasan dari pimpinan DPR tertanggal 2 Oktober 2020 untuk memberikan pertimbangan dan pandangan terkait penyempurnaan rancangan Perpres tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme.
Komisi Hukum mengakui pelibatan TNI diperlukan dalam upaya memberantas terorisme, tetapi pelaksanaannya memerlukan payung hukum yang jelas dan komprehensif sesuai Pasal 43I Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Pasukan Satuan Penanggulangan Teror (Satgultor) TNI mengikuti simulasi penanggulangan teror di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta, Selasa, 9 April 2019. Simulasi ini mengangkat tema "Satgultor TNI Melaksanakan Penanggulangan Aksi Terorisme di wilayah DKI Jakarta dalam rangka Mendukung Tugas Pokok TNI." ANTARA/Rivan Awal Lingga
Komisi Hukum mengingatkan bahwa sesuai UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, kehadiran TNI atau pengerahan kekuatan militer dilakukan oleh Presiden dan harus mendapat persetujuan DPR, yakni merupakan hal kebijakan dan politik negara.
Ada delapan poin catatan yang disampaikan Komisi Hukum, mulai dari definisi aksi terorisme; tugas TNI dalam penindakan, penangkalan, dan pemulihan; potensi gesekan kewenangan dengan institusi lain; jangka waktu operasi khusus; kewenangan TNI dalam pencegahan terorisme; kewenangan penindakan; hingga sumber pembiayaan kegiatan.