TEMPO.CO, Jakarta - Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Covid-19 menuai kritik. Mantan ketua MPR RI, Amien Rais; Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia, Din Syamsuddin; mantan menteri kehutanan, Malam Sambat Kaban; guru besar ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Sri Edi Swasono; mantan penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi, Abdullah Hehamahua; dan lainnya menggugat Perpu Covid-19 ini ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Gugatan juga datang dari Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) bersama Yayasan Mega Bintang 1997, Lembaga Pengawasan dan Pengawalan Penegakan Hukum Indonesia (LP3HI), KEMAKI dan LBH PEKA.
Amien cs mempersoalkan tiga pasal, yakni Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, 2, dan 3; Pasal 27, dan Pasal 28. Para pemohon meminta ketiga pasal ini dibatalkan karena bertentangan dengan konstitusi dan tak memiliki kekuatan hukum mengikat. Adapun MAKI dan lainnya hanya menyoroti Pasal 27.
Pasal 2 Perpu Covid-19 memberi kewenangan bagi pemerintah untuk menentukan batas defisit anggaran di atas 3 persen terhadap Undang-undang APBN sampai tahun 2022, tanpa mengatur batas maksimalnya. Penentuan batas defisit ini tanpa perlu persetujuan DPR RI. Amien dkk menilai hal itu bertentangan dengan Pasal 23 dan Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945.
Dengan tidak adanya batas maksimal penentuan defisit, pemohon menilai pasal ini berpotensi disalahgunakan pemerintah untuk memperbesar rasio pinjaman negara, khususnya utang luar negeri.
Adapun Pasal 27 Perpu itu dianggap bertentangan dengan Pasal 23 dan Pasal 23A UUD 1945. Pada pokoknya, Pasal 27 itu menyatakan biaya yang pemerintah keluarkan tidak dihitung sebagai kerugian negara melainkan upaya penyelamatan ekonomi. Pemerintah, khususnya pelaksana Perpu Covid-19, tidak bisa dituntut secara perdata atau pidana dalam menjalankan tugasnya yang didasarkan pada itikad baik.