Dia mengatakan banjir diperparah oleh limpasan air dari hulu atau Bogor serta berkurangnya kapasitas waduk, danau, kali, dan sungai akibat sedimentasi. Tapi faktor utama penentu lokasi dan tinggi banjir awal tahun ini tersebut adalah jumlah intensitas hujan di daerah tersebut.
Menurut Herizal, banjir besar yang menerjang Jakarta dan sekitarnya pada malam pergantian tahun itu disebabkan oleh peningkatan curah hujan secara ekstrem.
Krisis iklim, dia melanjutkan, telah menambah intensitas curah hujan sebanyak 10-20 milimeter per hari setiap 10 tahun. “Hujan-hujan besar yang dulu sangat jarang terjadi saat ini berpeluang kerap hadir,” kata dia kepada Tempo.
Banjir di wilayah utara dan barat DKI pada 2007 dan 2015 tercatat mencapai 150 milimeter per hari. Angka itu belum apa-apa dibanding 95 kelurahan di Jakarta Timur dan Barat yang diterjang hujan dengan intensitas 226-377 milimeter per hari pada malam pergantian tahun lalu. “Ini rekor baru untuk curah hujan yang jatuh di DKI Jakarta sejak pencatatan 1866,” kata Herizal.
Pakar lingkungan hidup dari Universitas Indonesia, Tarsoen Waryono, menilai penanganan banjir Jakarta dapat menggabungkan konsep normalisasi dan naturalisasi.
Di satu sisi, pemerintah harus mencegah degradasi badan sungai, seperti pada normalisasi, serta membangun sumur resapan, restorasi tandon air, dan rehabilitasi lahan untuk memulihkan air tanah di sisi lain. “Daerah tangkapan efektif pada daerah aliran Sungai Ciliwung hanya 13 persen. Maka, daerah hilir pasti banjir, air tanah terganggu, sampah, dan sedimen,” ujar dia terkait debat normalisasi atau naturalisasi.
CAESAR AKBAR, IMAM HAMDI, AHMAD FAIZ, ADAM PRIREZA, ANWAR SISWADI, LANI DIANA