TEMPO.CO, Jakarta -Di tengah defisit arus kas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan, Kementerian Keuangan telah memutuskan untuk menaikkan nilai tunjangan cuti tahunan bagi direksi dan dewan pengawas BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan menjadi dua kali lipat dari gaji atau upah. Tunjangan baru ini berlaku sejak 1 Agustus 2019.
Adalah BPJS Watch, sebuah lembaga publik yang mengawasi kinerja BPJS yang tegas menolak kenaikan tunjangan bagi para direksi dan anggota dewan pengawas di BPJS. Koordinator Bidang Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, mengatakan alasan kenaikan tunjangan demi peningkatan kinerja tidak bisa diterima. “Ini ga ada sense of crisis-nya,” kata Timboel saat dihubungi di Jakarta, Kamis, 15 Agustus 2019.
BPJS Watch menolak kebijakan Sri Mulyani ini. Pertama, direksi dan dewan pengawas BPJS selama ini sudah mendapatkan fasilitas gaji dan tunjangan yang lebih dari cukup. Dalam Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) tahun 2019, kata dia, BPJS mengeluarkan uang sebesar Rp 32,886 miliar untuk gaji 8 orang direksi selama satu tahun. Artinya, rata-rata satu orang direksi menerima gaji sekitar Rp 342 juta selama satu bulan.
Sementara untuk menggaji 7 orang anggota dewan pengawas, BPJS mengalokasikan anggaran sekitar Rp 17,736 miliar di tahun 2019 ini. Dengan demikian, satu orang anggota dewan pengawas bisa mendapatkan gaji rata-rata sekitar Rp 211 juta per bulannya. Selain itu, Timboel yakin para direksi dan anggota dewan pengawas ini mendapat insentif lain ketika cuti bekerja. “Saya yakin perwakilan di daerah juga menyambut mereka, seminggu sebelum datang udah sibuk, jadi mereka dibiayai juga cutinya,” kata Timboel.
Alasan kedua yaitu tidak ada tolak ukur yang jelas untuk menaikkan tunjangan atas pertimbangan kinerja. Ia mencontohkan target Universal Health Coverage (UHC) sebesar 95 persen hingga akhir 2019 nanti atau sekitar 254 juta penduduk. Namun sampai saat ini, baru 223 juta orang yang yang tercatat menjadi peserta BPJS Kesehatan. Ratusan juta peserta ini pun tidak semuanya aktif alias banyak yang menunggak iuran. “Mohon maaf dengan segala hormat, target ini tidak akan tercapai,” kata dia.
Kondisi yang sama juga terjadi pada dana kelola investasi di BPJS Ketenagakerjaan. Di 2018, BPJS ditargetkan mengelola dana sebesar Rp 364 triliun dengan hasil investasi sebesar Rp Rp 32 triliun. Tapi, realisasinya hanya Rp 27 triliun. Imbasnya, imbal hasil yang diterima para pekerja di program JHT (Jaminan Hari Tua) terus turun, dari 7,9 persen pada 2016, 7,8 persen pada 2017, dan 6,62 persen di tahun 2018. “Ini kenapa 2018 sampai anjlok?” kata dia.
Timboel khawatir, kenaikan tunjangan ini akan menciptakan rasa ketidakpercayaan yang lebih besar pada BPJS. Sebab, tunjangan dari anggota direksi dan dewan pengawas ini diambil dari urang iuran BPJS para pesertanya. Sedangkan, masih banyak peserta BPJS, terutama BPJS Kesehatan yang kesulitan mendapat kamar di rumah sakit, hingga klaim biaya oleh rumah sakit yang bermasalah. “Nanti malah, kepatuhan untuk membayar iuran berkurang,” kata dia.
Sebelumnya Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan Nufransa Wirasakti menjelaskan ihwal kenaikan tunjangan bagi direksi dan pengawas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS. Hal itu berkaitan dengan terbitnya PMK No. 112/PMK.02/2019 tentang Perubahan Atas PMK No. 134/PMK.02/2015 tentang Manfaat Tambahan Lainnya dan Insentif Bagi Anggota Dewan Pengawas dan Anggota Direksi BPJS.