TEMPO.CO, Jakarta - Kepolisian Republik Indonesia tak mau buru-buru menangani kasus peredaran tabloid Indonesia Barokah. Langkah pertama yang diambil Polri adalah meminta Dewan Pers untuk memberikan penilaian terhadap tabloid yang beredar di Jawa Tengah dan Jawa Barat pada masa kampanye pemilihan presiden ini.
Baca: Polri Tunggu Analisis Dewan Pers Soal Tabloid Indonesia Barokah
"Tabloid Indonesia Barokah merupakan ranahnya Dewan Pers. Jadi, Dewan Pers yang harus berdiri di depan dulu, melakukan assessment terhadap tabloid tersebut," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Dedi Prasetyo saat dikonfirmasi, Ahad, 27 Januari 2019.
Tabloid Indonesia Barokah yang tersebar merupakan edisi pertama dengan tajuk “Reuni 212: Kepentingan Umat atau Kepentingan Politik?”. Halaman depan surat kabar yang tayang pada Desember 2018 itu menampilkan karikatur orang memakai sorban dan memainkan dua wayang. Tabloid tersebut beredar di pesantren dan pengurus masjid di Jawa Tengah dan Jawa Tengah.
Tabloid itu mulanya ditemukan Pengawas Pemilu kecamatan-kecamatan pada 18 Januari 2019. Bawaslu Kabupaten Kuningan melaporkan adanya ratusan tabloid Indonesia Barokah yang disebar ke pesantren dan pengurus masjid di 32 kecamatan. Atas temuan itu, Bawaslu lantas menyita sejumlah tabloid. Tabloid yang sama sudah beredar di Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Baca Juga:
Baca: JK Instruksikan Pengurus DMI Bakar Tabloid Indonesia Barokah
Beredarnya tabloid ini mengingatkan publik pada kasus peredaran tabloid Obor Rakyat pada 2014. Ketika itu, Obor Rakyat yang terbit pertama kali pada Mei 2014 dengan judul halaman muka Capres Boneka, sempat menuai polemik. Saat itu, tabloid ini menampilkan karikatur Joko Widodo, calon presiden saat itu, sedang mencium tangan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Di dalamnya, redaksi menulis Jokowi sebagai keturunan Tionghoa dan kaki tangan asing.
Tim Jokowi lantas melaporkan Obor Rakyat ke polisi pada 4 Juni 2014. Kasus ini pun berlanjut ke pengadilan. Pada 22 November 2017 majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang diketuai Sinung Hermawan menghukum pimpinan tabloid, Setiyardi, dan penulis tabloid tersebut, Darmawan Sepriyosa, masing-masing 8 bulan penjara. Namun Mahkamah Agung menjatuhkan vonis 1 tahun penjara.