Kepada Tempo, Direktur Umum PPK GBK Hadi Sulistia sempat mengatakan tidak ada motif lain di balik permintaan pengosongan lahan Hotel Sultan. Sebagai pemegang Hak Pengelolaan Lahan (HPL), pihaknya meminta PT Indobuildco angkat kaki karena masa berlaku HGB sudah berakhir.
"Ini tidak ada muatan politik atau penguasa," ujar Direktur Umum PPK GBK Hadi Sulistia ketika ditemui Tempo di Kantor PPK GBK, Senin, 2 Oktober 2023. "Ini adalah aset negara yang menjadi ikon negara."
Lebih lanjut, Kuasa Hukum PPK GBK Chandra Hamzah mengatakan tanah di Blok 15 Kawasan GBK itu secara hukum dimiliki negara. Sebab, negara yang mendapatkan tanah itu melalui pembebasan lahan lahan pada 1959. Artinya, kata Chandra, negara yang membeli tanah itu dari penduduk yang memiliki hak atas tanah itu.
"Karena sudah dibebaskan, jadi milik negara. Bukan lagi milik penduduk," ujar Chandra. Hak penguasaan itu pula yang kemudian dikonversi menjadi hak pengelolaan.
Sementara itu, Chandra menjelaskan, PT Indobuildco mendapat HGB setelah mengajukan izin penggunahan tanah untuk kepada Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin pada 1971. Ali Sadikin lantas memberikan izin dengan syarat PT Indobuildco harus membangun sebuah conference hall dengan kapasitas 25.000. Ali Sadikin juga mewajibkan PT Indobuildco memayar royalti kepada negara senilai US$ 50 ribu per tahun.
Bahkan dalam Surat Keputusan Gubernur Kepala Daeran Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1744/A/K/BKP/71, justru Ali Sadikin yang mewajibkan PT Indobuildco mendirikan hotel. "Penerima izin diwajibkan membangun sebuah hotel tingkat internasional dengan kapasitas minimum 800 (delapan ratus) kamar tidur dengan segala perlengkapannya," tulis poin 1 dalam surat tersebut.
Dalam SK itu juga dijelaskan bahwa Ali Sadikin memberikan izin penggunaan tanah Blok 15 Kawasan GBK tersebut untuk jangka waktu 30 tahun, terhitung sejak tanggal keputusan ini. Perpanjangan hak diatur sesuai syarat dan peraturan yang berlaku. Adapun SK Gubernur ini ditandatangani Ali Sadikin pada 21 Agustus 1971.
Versi lain disampaikan PT Indobuildco. Dalam sebuah file resume yang diterima Tempo dari Kuasa Hukum PT Indobuildco Hamdan Zoelva, disebutkan bahwa pada 1971 PT Indobuildco ditugaskan pemerintah melalui Gubernur DKI Jakarta membangun kawasan hotel untuk keerluan event-event internasional. PT Indobuildco kemudian memperoleh izin dan penunjukkan penggunaan tanah eks Jakindra (Yayasan Kerajinan dan Kebudayaan Industri Rakyat) seluas ± 13 hektar dari, sebagaimana tertuang dalam SK Gubernur Nomor 1744/A/K/BKD/71.
PT Indobuildco kemudian mengajukan permohonan hak atas tanah tersebut kepada negara melalui Menteri Dalam Negeri dan telah dikabulkan dengan terbitnya SK Menteri Dalam Negeri R.I. No.181/HGB/Da/72 tanggal 3 Agustus 1972. Dalam SK tersebut dengan tegas disebutkan dasar pertimbangan pemberian HGB yaitu, antara lain tanah yang dimaksud adalah tanah negara (bukan tanah HPL); SK Gubernur Nomor 1744/A/K/BKD/71; dan Surat Pernyataan Pelepasan Hak dari Direktur Gelora Senayan Tanggal 27 Juli 1972 Nomor 34/Dir/VII/1972.
Soal status hak pengelolaan, Hamdan Zoelva cs menyampaikan bahwa HPL No. 1/Gelora atas nama Sekneg cq. PPKGBK terbit tahun 1989, 16 tahun setelah terbitnya HGB No, 26/Gelora dan HGB No. 27/Gelora di atas tanah Negara. Menurut hukum tanah nasional, katanya, HPL harus terbit diatas tanah negara bebas tanpa hak. Sehingga sebelum HPL terbit di suatu lahan, maka lahan tersebut harus dibersihkan dan diberi ganti kerugian kepada seluruh hak atas tanah yang ada di atas lahan yang akan dijadikan HPL tersebut.
Hamdan Zoelva cs juga menyampaikan bahwa HPL No. 1/Gelora atas nama Sekneg terbit di atas tanah HGB No. 26/Gelora dan HGB No. 27/Gelora sehingga sebelum jadi pemegang HPL No. 1/Gelora maka Sekneg selaku calon pemegang hak harus membebaskan tanah yang akan dijadikan lahan HPL termasuk dalam hal ini lahan HGB No, 26/Gelora dan HGB No. 27/Gelora. Namun menurut mereka, sampai saat ini tidak pernah dilakukan oleh Sekneg selaku pemegang HPL.