Selain itu, Ombudsman menemukan warga Rempang di Kelurahan Sembulang sulit memperoleh pasokan pangan pasca kerusuhan pada 7 dan 11 September lalu. Widijantoro menuturkan, ini lantaran distributor takut menyuplai pasokan ke kampung tersebut. "Karena status tempat itu yang sudah di-declare pemerintah akan dikosongkan," tutur dia.
Ombudsman juga menyoroti adanya petugas yang meminta tanda tangan persetujuan relokasi secara paksa. Misalnya, yang terjadi pada warga Kampung Sembulang. Form persetujuan relokasi bahkan dimasukkan di pintu saat empunya rumah tidak ada.
"Kalau tidak ada orang tuanya, anaknya dipaksa mewakili orangtuanya untuk mengisi form dan tanda tangan," ujar Widijantoro.
Antropolog Universitas Indonesia Suraya Afiff menyebut ada bibit konflik dalam upaya relokasi warga Rempang. "Jadi itu bibit konflik diciptakan, karena kalau (masyarakat) yang enggak sepakat akan lari cari jalan," kata Suraya saat dihubungi Tempo pada Rabu.
Suraya menuturkan, pemerintah adalah pihak yang bersengketa. Sehingga, kata dia, pemerintah adalah bagian dari problem dan bukannya solution. Oleh sebab itu, pemerintah tidak bisa menyelesaikan persoalan itu sendiri karena akan menyebabkan conflict of interest alias konflik kepentingan.
"Maka harus ada mediator imparsial," ujar Dosen Antropologi Universitas Indonesia ini.
Pemerintah mengklaim penanganan relokasi warga Rempang telah dilakukan dengan baik