TEMPO.CO, Jakarta - Pekan lalu, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengumumkan bahwa negaranya dan Arab Saudi sudah di ambang perdamaian. Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman, yang dikenal sebagai MbS, mengatakan kesepakatan semakin dekat dari hari ke hari dan Netanyahu serta Biden mengadakan pertemuan yang telah lama ditunggu-tunggu untuk membahas prospeknya.
Ketika normalisasi hubungan Arab Saudi dan Israel kian dekat dengan kenyataan, pertanyaan kembali mengemuka: bagaimana nasib Palestina? Apakah mereka akan terlupakan setelah kesepakatan ditandatangani?
Pemutusan hubungan negara-negara Arab dan Israel terjadi pada 1967. KTT Liga Arab mengeluarkan “tiga larangan”: tidak ada pengakuan, tidak ada perdamaian, dan tidak ada negosiasi dengan Israel. Larangan ini berhasil ditegakkan dengan disiplin selama beberapa dekade. Namun, beberapa tahun terakhir, penegakan larang ini mulai goyah. Netanyahu menyebut sebagai pendahulu perjanjian normalisasi tahun 2020 antara Israel dan Uni Emirat Arab dan Bahrain, yang dikenal sebagai Perjanjian Abraham dan disponsori oleh AS Presiden Donald Trump.
“Tidak diragukan lagi: Perjanjian Abraham menandai dimulainya era baru perdamaian,” katanya. “Saya yakin kita sedang berada di titik puncak terobosan yang lebih dramatis: Perdamaian bersejarah antara Israel dan Arab Saudi.”
Namun, penandatanganan perjanjian tersebut konon tidak mewakili posisi masing-masing negara mengenai masalah penentuan nasib Palestina. Sebaliknya, Perjanjian Abraham hanya membangun hubungan diplomatik dan ekonomi untuk meningkatkan kerja sama di bidang-bidang seperti pariwisata, perdagangan, teknologi, keamanan, dan energi.
Menurut Ahn Ho Rhee, peneliti dari USC Global Policy Institute, sikap dunia Arab terhadap penggabungan regional dengan Israel terbagi dua. Di satu sisi, kebijakan seperti Perjanjian Abraham mendorong perdamaian di kawasan dengan mendorong integrasi ekonomi dan kerja sama geopolitik. Dengan demikian, normalisasi menjadi saluran bagi multilateralisme yang bermanfaat di Timur Tengah. Sebaliknya, dampak penting dari upaya ini adalah marginalisasi ekstrem terhadap Palestina. Hasil seperti ini akan memperburuk keseimbangan kekuatan yang asimetris dalam konfliknya dengan Israel dan melemahkan klaim negara tersebut atas wilayah tersebut.
Maka, reaksi Palestina terhadap kebijakan yang memfasilitasi normalisasi Arab-Israel sangat negatif. Para pemimpin Palestina mengambil tindakan untuk menunjukkan ketidakpuasan mereka terhadap sikap sekutu Arab mereka terhadap Israel. Pada 2020, Otoritas Palestina (PA) menarik duta besarnya dari UEA setelah pemerintah Emirat dan Israel meresmikan serangkaian infrastruktur dan kesepakatan bisnis. Meskipun Otoritas Palestina akhirnya mengangkat kembali duta besarnya, ketidaksetujuan negara tersebut terhadap tindakan sekutu Arabnya sangatlah kuat. Salah satu juru bicara Otoritas Palestina menggambarkan kesepakatan itu sebagai “pengkhianatan terhadap Yerusalem”, dan narasi yang muncul setelah UEA mengabaikan Palestina mencoreng reputasi UEA di antara negara-negara Arab lainnya.