Kekuatan Asimetris
Peralihan negara-negara Arab ke arah rasa simpati terhadap Israel menimbulkan tantangan strategis bagi Palestina yang berdampak pada beberapa tahap. Pertama, pergeseran ini menghilangkan salah satu dari sedikit pengaruh Palestina terhadap Israel. Harapannya adalah bahwa negara-negara Arab hanya akan melakukan normalisasi dengan Israel setelah berdirinya negara Palestina, berakhirnya pendudukan, atau setidaknya mencapai puncak kesepakatan antara kedua pihak. Namun, berkurangnya daya tawar Palestina akibat normalisasi dini negara-negara Arab, memperdalam dinamika kekuatan asimetris yang ada antara Israel dan Palestina.
Kesepakatan-kesepakatan seperti Perjanjian Abraham disebut peneliti senior di Middle East Institute, Khalid Elgindy, melemahkan kapasitas tawar Palestina sehingga prospek solusi dua negara terancam gagal. Dalam kemungkinan paling ekstrem, peningkatan normalisasi Arab-Israel juga dapat menyebabkan penghapusan total Palestina.
Sikap Warga Palestina
Presiden Iran Ebrahim Raisi mengatakan Arab Saudi mengkhianati rakyat Palestina jika mereka benar-benar normalisasi hubungan dengan Israel. Iran juga belum lama menormalisasi hubungan dengan Arab Saudi atas perantara Cina.
Sementara itu, Presiden Palestina Mahmoud Abbas dalam forum Majelis Umum PBB di New York mengatakan: "Siapa pun yang berpikir perdamaian di Timur Tengah mungkin terjadi sebelum rakyat kami mencapai hak penuh mereka adalah orang yang berkhayal."
Namun, ternyata pada jajak pendapat yang dilakukan The Washington Institute dengan Pusat Opini Publik Palestina—yang berbasis di Beit Sahour di luar Bethlehem—dengan lebih dari 1.500 wawancara tatap muka di Tepi Barat, Gaza, dan Yerusalem Timur memberikan gambaran yang unik mengenai opini publik Palestina mengenai hal ini dan isu-isu penting lainnya.
Ketika perundingan Israel-Saudi terus berlanjut, warga Gaza memiliki kemungkinan lebih besar menerima dengan baik keterlibatan Saudi dan konsesi yang dihasilkan mengenai masalah Palestina dari Israel. Sementara di Tepi Barat, lebih banyak warga yang mungkin berhati-hati mengenai apakah perjanjian semacam itu sesuai dengan kepentingan mereka. Namun mayoritas warga Palestina jelas-jelas mencari perubahan, dengan satu atau lain cara. Jika langkah-langkah menuju normalisasi Saudi-Israel dapat memberikan perbaikan yang berarti dalam kehidupan warga Palestina—bahkan tanpa adanya negara Palestina secara penuh—banyak warga Palestina yang tidak akan melihatnya sebagai “tikaman dari belakang” seperti yang diproklamirkan oleh beberapa pemimpin mereka. Dan bagi Amerika Serikat, temuan survei baru yang mengejutkan ini menunjukkan bahwa jika orang-orang Palestina terus memandang Arab Saudi bekerja demi kepentingan mereka, mereka kemungkinan besar akan melihat dorongan Amerika untuk mencapai perjanjian bersejarah ini sebagai hal yang bermanfaat.
Yang menarik, hasil jajak pendapat tersebut mencerminkan keinginan banyak warga Palestina untuk mengubah status quo, termasuk—yang sekali lagi bertentangan dengan kebijakan konvensional—dengan cara damai jika memungkinkan. Separuh warga Gaza setuju bahwa Hamas harus “berhenti menyerukan penghancuran Israel dan sebaliknya menerima solusi permanen dua negara berdasarkan perbatasan tahun 1967.” Dan setidaknya setengah warga Gaza dan Tepi Barat mendukung dimulainya kembali perundingan Palestina dengan Israel: 58% warga Gaza mendukung Israel dan 50% warga Tepi Barat mendukung Israel.
REUTERS | AL JAZEERA
Pilihan Editor: Trump Tolak Permintaan Jaksa untuk Batasi Komentar tentang Kasus Pemilu