TEMPO.CO, Jakarta - Dalam beberapa tahun terakhir, BRICS menjadi kelompok yang seksi, menarik perhatian banyak peminat untuk bergabung. BRICS yang sebelumnya bernama BRIC didirikan oleh Brasil, Rusia, Cina dan India pada 2009 dalam sebuah klub informal untuk memberikan platform bagi anggota-anggotanya untuk menantang tantanan dunia yang didominasi oleh AS dan sekutu Baratnya. Pembentukan itu diinisiasi oleh Rusia. Pada 2010, Afrika Selatan bergabung dan nama BRIC menjadi BRICS.
Dengan perkembangan dunia yang semakin berat ke AS dan Barat, negara-negara BRICS kian gencar untuk mempromosikan pembangunan di negara-negara anggota. Cina merasa sudah waktunya memperluas keanggotaan tidak hanya terbatas dengan lima anggota. Presiden Xi Jinping saat menjadi ketua BRICS pada 2022, mengatakan tidak boleh ada negara atau individu yang tertinggal dalam mengejar pembangunan.
Ide perluasan kian berkembang hingga pada pertemuan puncak minggu ini, ide tersebut menjadi pokok bahasan. Inisiatif ini menarik banyak kandidat potensial - dari Iran hingga Argentina - dengan satu kesamaan: keinginan untuk menyamakan kedudukan di lapangan permainan global yang dinilai banyak orang curang terhadap mereka.
Daftar keluhannya panjang: Praktik perdagangan yang kasar, rezim sanksi yang menghukum, dianggap mengabaikan kebutuhan pembangunan negara-negara miskin, dominasi orang kaya Barat terhadap badan-badan internasional, seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa, Dana Moneter Internasional atau Bank Dunia.
Di tengah ketidakpuasan yang meluas terhadap tatanan dunia yang berlaku, janji negara-negara BRICS - saat ini Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan - untuk menjadikan kelompok tersebut sebagai pembela "Global South", terlepas dari belum adanya hasil yang nyata, menemukan gaungnya
Lebih dari 40 negara telah menyatakan minat untuk bergabung dengan BRICS, kata para pejabat dari Afrika Selatan, yang menjadi tuan rumah KTT 22-24 Agustus. Dari mereka, hampir dua lusin telah secara resmi meminta untuk diterima.
“Kebutuhan obyektif dari kelompok seperti BRICS sangat besar,” kata Rob Davies, mantan menteri perdagangan Afrika Selatan, yang membantu negaranya bergabung dengan blok tersebut pada 2010.
"Badan multilateral bukanlah tempat di mana kita bisa pergi dan mendapatkan hasil yang adil dan inklusif."
Akan tetapi, para pengamat menunjukkan bahwa rekam jejak BRICS yang buruk tidak memberikan pertanda baik bagi prospek BRICS dalam mewujudkan harapan besar para calon anggotanya.
Meskipun merupakan rumah bagi 40% populasi dunia dan seperempat PDB global, ambisi blok tersebut untuk menjadi pemain politik dan ekonomi global telah lama digagalkan oleh perpecahan internal dan kurangnya visi yang koheren.
Ekonominya yang pernah berkembang pesat, terutama kelas berat Cina, melambat. Anggota pendiri, Rusia, menghadapi isolasi atas perang Ukraina. Presiden Vladimir Putin, yang dicari berdasarkan surat perintah penangkapan internasional karena dugaan kejahatan perang, tidak akan melakukan perjalanan ke Johannesburg dan hanya bergabung secara virtual.
“Mereka mungkin memiliki ekspektasi berlebihan terhadap apa yang sebenarnya akan dicapai oleh keanggotaan BRICS,” kata Steven Gruzd dari South African Institute of International Affairs.