Menurut Faisal, hilirisasi pun perlu diperluas ke sektor padat karya, seperti perkebunan. Bukan hanya fokus pada hilirisasi komoditas tambang saja. Sebab, sektor ini membutuhukan tenaga kerja dengan keahlian khusus. “Pelibatan pelaku usahanya juga tidak luas.”
Di sisi lain, hilirisasi sumber daya Indonesia juga menghadapi hambatan dari global. Faisal mengatakan. liberalisasi Wolrd Trade Organization (WTO) membuat manuver kebijakan pemerintah Indonesia sebagai negara berkembang relatif terbatas. Hal ini sudah terjadi melalui kebijakan larangan ekspor bijih nikel Indonesia yang digugat di WTO dan akhirnya kalah.
“Kalau diperluas ke sektor lain, seperti perkebunan, pasti akan menghadapi hal sama. Disemprit WTO,” ujar Faisal.
Faisal pun meminta pemerintah mempersiapkan diri melalui diplomasi perdagangan, riset, serta kemampuan berargumentasi. Termasuk menjalin kerja sama dengan negara berkembang lain yang punya kepentingan sama. “Harus ada strategi politik perdagangan dan politik luar negeri.”
Sederet Rintangan Menghadang di Depan
Rintangan yang menghadang Indonesia dalam mencapai target menjadi negara maju bukan sekadar perkara target peningkatan pendapatan dan upaya mencari nilai tambah ekonomi dari hilirisasi. Lebih jauh, ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira membeberkan sejumlah tantangan lainnya.
Pertama, bonus demografi. Jika tidak dimanfaatkan dengan baik, pendapatan per kapita Indonesia akan tetap kecil. Kedua, ketersediaan lapangan kerja, kemampuan tenaga kerja, dan aspek lain yang menyangkut sumber daya manusia (SDM).
Selanjutnya: “Fenomena yang dikhawatirkan adalah...."