“Fenomena yang dikhawatirkan adalah kita terlalu cepat deindustrialisasi dini, sebelum lepas landas menjadi negara maju,” ujar Bhima, Kamis, 13 Juli 2023.
Ketiga, eksploitasi sumber daya alam. Cukup riskan jika Indonesia terus bergantung pada sumber daya alam. “Sumber daya alam akan habis. Harganya juga fluktuatif.”
Keempat, tantangan dalam inovasi dan digitalisasi. Hal ini yang membuat penyerapan tenaga kerja masih sedikit. Malah, tidak sedikit talenta digital Indonesia yang akhirnya bekerja di perusahaan digital di luar negeri. “Ini ancaman serius bagi kualitas ekonomi kita ke depan."
Di sisi lain, Indonesia mengalami banjir produk impor karena Indonesia masih dipersepsikan sebagai pasar. Jika tidak bisa mengelola digitalisasi dengan baik, kata Bhima, barang impor murah dari Cina akan terus datang ke Indonesia.
Tantangan selanjutnya, soal jaring pengaman sosial yang rendah. Jika besarannya hanya 2 atau 3 persen dari PDB, jaring pengaman sosial, termasuk bantuan sosial dan subsidi, sulit mengangkat orang miskin keluar dari garis kemiskinan. Walhasil, ketimpangan sosial bisa menjadi makin lebar.
Terakhir, hilirisasi yang berpotensi blunder. Hal ini ketika Indonesia mendorong hilirisasi di sektor fosil. Misalnya, gasifikasi batu bara. Sedangkan Indonesia memiliki arah tujuan net zero emission (NZE) pada 2060. “Akhirnya, menjadi kontradiktif dan akan sulit mencari pembiayan jangka panjang,” kata Bhima.
Jika tantangan-tantangan tersebut tidak bisa dijawab dengan baik, realisasi Indonesia menjadi negara maju tetap akan sulit. Bhima bahkan menilai cita-cita itu masih jauh dari angan-angan. "Butuh waktu lama. Bisa jadi target 2045 meleset," ujar dia.
Pilihan Editor: Super Air Jet Lombok-Jakarta Mogok 2 Jam di Runway Bandara, Benarkah karena Landing Gear Rusak?