Sementara permintaan negara-negara importir beras lainnya berpotensi meningkat karena ancaman iklim. Said menegaskan prediksi musim kemarau panjang perlu diwaspadai, sebab akan menambah beban persoalan. Masalah pertama, stok beras di dalam negeri bisa berkurang. Kedua, untuk membeli di pasar global pun stoknya menipis.
Dalam jangka panjang, menurutnya, memang produksi dalam negeri perlu terus digenjot untuk menghindari situasi pelik itu. Sebenarnya jika menengok kasus pada tahun-tahun lalu, impor beras yang dilakukan Indonesia pun bukan disebabkan tidak adanya hasil produksi.
Dia menjelaskan secara hitungan statistik, produksi beras di Tanah Air mencukupi kebutuhan konsumsi masyarakat. Namun, impor tetap dilakukan karena pemerintah tidak memiliki cukup stok untuk cadangan beras di gudang Bulog. Stok ini berfungsi untuk stabilisasi harga dan pasokan di pasaran.
Karena itu, dia menyarankan agar pemerintah mengantisipasi ancaman kerentanan pangan ini dengan membenahi tata kelola produksi beras. Tidak hanya berupaya meningkatkan produksi dengan model pertanian ramah iklim, namun juga soal tata niaga beras di dalam negeri.
Jika tidak diantisipasi dengan baik, Said menuturkan harga beras di dalam negeri bisa melonjak. Hal itu bisa dipengaruhi jumlah stok beras yang kurang dari pengurangan ekspor Vietnam, dan juga tingkat produksi tahun ini.
"Melihat ancaman yang ada bisa jadi harga naik di atas 5 persen," ucapnya.
Kendati demikian, dia berharap Indonesia bisa menggenjot produksi di dalam negeri. Sehingga tidak perlu impor dan tingkat inflasi bisa terjaga.
Lebih lanjut, ia menegaskan Bulog perlu berjuang mendapat pasokan dari dalam negeri dengan jalan memperbesar serapan dari petani. Mengingat berdasarkan pengalaman sebelumnya, menurut Said, Bulog kerap kalah saing dengan pedagang besar. Alhasil, stok di gudang Bulog kurang dan memerlukan impor.
Artinya, pemerintah melalui Badan Pangan Nasional atau Bapanas juga harus memperhatikan peraturan harga pokok penjualan beras atau HPP. Dia berkata HPP beras memang baru berubah, tetapi tidak cukup mampu membuat Bulog bersaing dengan harga pasaran.
Saat ini Bulog sudah diberi fleksibilitas harga di atas HPP supaya bisa bersaing, ia menilai hal itu harus dimanfaatkan. "Sekarang penguasa gabah dan beras terkonsentrasi pada beberapa perusahaan saja. Mereka bisa memainkan stok dan harga. Ini tentu berbahaya," ucapnya.
Selanjutnya: RI bergantung pada pasar pangan global
Ekonom dan Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS), Yusuf Wibisono juga menilai langkah Vietnam memangkas ekspor beras tentu akan berdampak kepada ketahanan pangan Indonesia.
"Sebagai salah satu negara importir pangan terbesar di dunia, Indonesia tak terhindarkan memang akan selalu terekspose dengan risiko politik proteksionisme pangan global," ujar Yusuf saat dihubungi Tempo, Jumat, 2 Juni 2023.
Ia menuturkan banyak pihak telah lama mengingatkan Indonesia bahwa bergantung pada pasar pangan global memunculkan kerentanan tinggi pada ketahanan pangan. Sebab, kerentanan terbesar datang dari ketidakpastian pasokan dan harga pangan internasional.
Indonesia sudah pernah mengalaminya pada saat krisis harga pangan global 2008. Yusuf menjelaskan, saat itu harga beras di pasar internasional melonjak tinggi. Penyebabnya adalah gagal panen, spekulasi di pasar komoditas, dan politik pangan negara eksportir beras.
Pasar beras internasional volumenya kecil, hanya sekitar 5 persen dari produksi dunia. Sehingga sedikit guncangan terhadap permintaan atau penawaran, akan membuat harga melonjak. Terlebih, menurut Yusuf, pasar beras internasional ini didominasi hanya oleh segelintir negara eksportir seperti Thailand, India, Vietnam dan Pakistan.
"Krisis pangan 2008 harusnya menjadi pelajaran, namun hingga kini kondisi kita tidak banyak berubah, ketergantungan terhadap impor pangan masih sangat tinggi," ujarnya.
Pada 2022, Indonesia mengimpor 429 ribu ton beras, dimana 99 persen impor hanya berasal dari hanya empat negara saja. Yakni India sebanyak 41,6 persen, Thailand 18,7 persen, Vietnam 19,1 persen, dan Pakistan 19,7 persen.
Untuk menghadapi krisis pangan, Yusuf mengungkapkan tidak ada cara lain kecuali meningkatkan produksi dalam negeri. Diikuti manajemen stok pangan yang lebih efisien. Ancaman terbesar di sini, menurut dia, adalah rendahnya tingkat kesejahteraan petani, peternak dan nelayan.
Yusuf menilai kebijakan pemerintah justru seringkali tidak berpihak, seperti membuka impor pangan di tengah panen raya. Ditambah kondisi perubahan iklim semakin membuat petani terpuruk.
Karena itu, dia menekankan pemerintah perlu menunjukkan keberpihakan kebijakan yang kuat. Mulai dari kebijakan tata niaga yang kondusif bagi sektor pertanian, dukungan investasi pada infrastruktur pertanian, peternakan dan perikanan, serta reforma agraria dan aset.
"Termasuk kebijakan yang dibutuhkan adalah diversifikasi pangan dan menumbuhkan budaya pangan lokal yang kini semakin tergerus oleh tren pangan asing," tutur Yusuf.
Selanjutnya: Alih fungsi lahan sawah cenderung tidak terkendali
Selain itu, dia menimbang isu paling krusial dalam antisipasi kekurangan pasokan beras di masa depan adalah soal alih fungsi lahan sawah yang terus terjadi secara masif. Meski, Indonesia telah memiliki Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B).
Menurut Yusuf, hingga kini alih fungsi lahan sawah masih cenderung tidak terkendali. Bahkan, ia mencatat banyak peralihan fungsi sawah akibat oleh proyek strategis nasional seperti pembangunan jalan tol Trans Jawa.
"Luas lahan baku sawah pada 2019 adalah 7,46 juta hektar. Namun saya menduga kuat angka ini sudah tidak valid saat ini," ucapnya. Hal Ini, bagi Yusuf telah menunjukkan penyebab produksi beras Indonesia cenderung terus melemah dalam 5 tahun terakhir.
Yusuf mencatat, di 8 provinsi sentra beras yaitu Sumatra Barat, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, dan Nusa Tenggara Barat (NTB), luas lahan baku sawah (LBS) 2019 adalah 3,97 juta hektar. Namun pada 2021, hanya 3,84 juta hektar sawah saja di 8 provinsi tersebut yang dapat ditetapkan menjadi lahan sawah yang dilindungi (LSD).
Dengan demikian, Yusuf menduga sebanyak 136 ribu hektar sawah di 8 provinsi sentra beras tersebut telah mengalami konversi di sepanjang 2019-2021. Oleh sebab itu, dia menekankan pemerintah harus melindungi lahan sawah yang tersisa, terutama di Jawa.
Perlindungan terhadap sawah, menurutnya, adalah kebijakan yang tidak bisa ditawar untuk ketahanan pangan di masa depan. Namun dia menegaskan kebijakan membuka lahan sawah baru di luar Jawa, termasuk food estate, adalah kebijakan yang salah arah, mahal dan beresiko sangat tinggi untuk ketahanan pangan kita.
Sehingga, dia menganjurkan agar pemerintah mempertahankan sawah dan mendorong usaha pertanian berbasis keluarga atau family farming di Jawa. Menurutnya, hal itu amat krusial untuk memastikan ketahanan pangan Indonesia di masa depan.
Di sisi lain, pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori menyoroti waktu pelaksanaan kebijakan Vietnam dalam memangkas ekspor beras. Menurut dia, dalam perjalanan ke 2030 bisa saja terjadi perubahan kebijakan.
"Dinamika dan geopolitik pangan amat dinamis," ujarnya saat dihubungi Tempo, Jumat, 2 Juni 2023.