Meski demikian, sehari setelah putusan juru bicara MK Fajar Laksono memberikan penafsiran mengenai putusan itu. Dia mengatakan putusan MK berlaku dan memiliki kekuatan hukum mengikat sejak diucapkan. “Pimpinan KPK yang saat ini menjabat dengan masa jabatan 4 tahun dan akan berakhir pada Desember 2023 diperpanjang masa jabatannya selama 1 tahun ke depan hingga genap menjadi 5 tahun masa jabatannya sesuai dengan Putusan MK ini,” kata dia.
Fajar mengatakan pertimbangan mengenai waktu berlaku putusan bagi pimpinan KPK terdapat dalam pertimbangan Paragraf 3.17 halaman 117. Adapun dalam paragraf tersebut para Hakim Konstitusi memberi penjelasan tentang kebutuhan untuk segera memutus gugatan Ghufron karena masa jabatan pimpinan KPK yang akan berakhir pada 20 Desember 2023. “MK menyegerakan memutus perkara ini agar Putusan memberikan kepastian dan kemanfaatan berkeadilan bagi Pemohon khususnya dan keseluruhan Pimpinan KPK saat ini,” kata Fajar.
Di hari yang sama, Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Syarif Hiariej menyambut penafsiran yang diberikan oleh Fajar Laksono itu. dia mengatakan dengan adanya penjelasan dari juru bicara MK, maka tidak ada tafsiran selain memperpanjang jabatan pimpinan KPK selama 1 tahun sampai Desember 2024.
Pria yang akrab dipanggil Eddy Hiariej itu mengatakan Presiden Joko Widodo akan segera mengeluarkan keputusan presiden baru untuk masa jabatan Firli Bahuri dkk. Kepres itu akan menggantikan keputusan sebelumnya yang mengangkat Firli untuk jabatan 4 tahun pada 2019. "Penjelasan juru bicara Mahkamah Konstitusi memberikan kepastian sehingga tidak ada lagi kontroversi dalam menafsirkan putusan MK dalam perkara a quo,” tutur dia, Jumat pekan lalu.
Feri Amsari menaruh curiga terhadap ngototnya MK dan pemerintah dalam penerapan putusan MK tersebut. Dia mencurigai terdapat unsur politis di balik putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Menurut Feri, putusan MK itu tak bisa dilepaskan dari kontestasi politik menjelang Pemilihan Presiden 2024. “Patut dicurigai KPK saat ini sedang terlibat dalam urusan jegal-menjegal calon presiden tertentu,” tutur dia.
Upaya menjegal itu, kata Feri, tak bisa dilepaskan dari upaya KPK mengusut kasus Formula E. Kasus ini diketahui menyeret nama eks Gubernur DKI Anies Baswedan. Anies kini menjadi bakal calon presiden yang diusung tiga partai koalisi perubahan yaitu, NasDem, Partai Demokrat dan PKS.
KPK sudah berulang kali melakukan gelar perkara dalam kasus ini, namun tidak kunjung menaikkannya ke penyidikan. Sejumlah pimpinan disebut hendak memaksakan kasus itu naik ke penyidikan, kendati mendapatkan penolakan dari jajaran Kedeputian Penindakan KPK karena dinilai kurang bukti.
Feri mengatakan tanpa putusan MK yang memperpanjang masa jabatan pimpinan KPK, maka tidak mungkin kasus Formula E akan dilanjutkan. Sebab, pimpinan akan sibut mempersiapkan diri untuk mengikuti seleksi calon pimpinan selanjutnya. “Kalau KPK sudah dijadikan alat untuk menjegal calon, maka kacaulah aparat penegak hukum dan demokrasi kita,” kata dia.
Pakar hukum dari Sekolah Tinggi Hukum Jentera Bivitri Susanti sependapat dengan Feri soal masa berlaku putusan MK itu. Dia mengatakan seharusnya, putusan MK berlaku untuk periode pimpinan selanjutnya. “Karena putusan asasnya non-retroaktif alias tidak berlaku mundur,” kata Bivitri.
Bivitri menilai terdapat sejumlah kejanggalan dalam putusan MK terkait masa jabatan pimpinan KPK. Salah satunya, tentang prinsip open legal policy. Dia mengatakan dalam putusan sebelumnya, MK selalu menyatakan bahwa terkait masa jabatan merupakan kewenangan pembuat UU untuk memutuskannya. “Argumen inkonsisten dengan putusan sebelumnya, bahkan anomali,” tutur dia.
Bivitri juga menyoroti cepatnya MK memutuskan gugatan Nurul Ghufron. Ghufron mengajukan gugatan pada November 2022 dan diputuskan pada Mei 2023. Menurut Bivitri, dalam pertimbangannya MK juga mengakui bahwa putusan dibuat cepat untuk mengejar waktu.
Selanjutnya, keheranan atas penafsiran Juru bicara MK...