Siapa Bertanggung Jawab?
Untuk pertama kalinya sejak Revolusi Islam pada 1979, siswi-siswi pada beberapa bulan lalu aktif bergabung dalam aksi protes yang dipimpin perempuan setelah kematian Mahsa Amini dalam tahanan polisi moralitas. Beberapa aktivis menuduh penguasa mendalangi peracunan sebagai balas dendam.
Pada 2014, rakyat Iran juga turun ke jalan kota Isfahan setelah gelombang serangan air keras, yang diduga ditujukan untuk meneror perempuan yang melanggar aturan berpakaian Islami yang ketat.
"Sekarang gadis-gadis Iran membayar harga untuk melawan kewajiban jilbab (kerudung) dan telah diracuni oleh lembaga ulama," cuit aktivis Iran terkemuka yang berbasis di New York, Masih Alinejad.
Khawatir akan dorongan baru untuk protes, pihak berwenang meremehkan peracunan tersebut. Penyelidikan yudisial sedang berlangsung, meskipun belum ada rincian temuan yang dirilis.
Di tengah kemarahan publik, pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei mengatakan pada Senin, 6 Maret 2023, bahwa peracunan siswi adalah kejahatan "tak termaafkan" yang harus dihukum mati jika terbukti di sengaja. "Pihak berwenang harus secara serius menindaklanjuti masalah peracunan siswa," katanya seperti dikutip oleh TV pemerintah.
Presiden Iran Ebrahim Raisi pada Jumat, 3 Maret 2023, menyalahkan gelombang keracunan ratusan siswi di seluruh negeri pada musuh Teheran. “Ini adalah proyek keamanan untuk menimbulkan kekacauan di negara dimana musuh berusaha menanamkan rasa takut dan ketidakamanan di antara orang tua dan siswa," katanya saat pidato di Iran selatan.
Kantor hak asasi manusia PBB di Jenewa pada Jumat lalu menyerukan penyelidikan transparan atas dugaan serangan itu. Negara-negara termasuk Jerman dan Amerika Serikat telah menyuarakan keprihatinannya..
"Kemungkinan bahwa gadis-gadis di Iran kemungkinan diracuni hanya karena berusaha mendapatkan pendidikan adalah hal yang memalukan, itu tidak dapat diterima," kata Sekretaris Pers Gedung Putih Karine Jean-Pierre dalam pengarahan media, Senin, 6 Maret 2023.
Washington menyerukan penyelidikan independen untuk menentukan apakah peracunan itu terkait dengan protes, yang akan membuatnya sesuai dengan mandat misi pencarian fakta PBB di Iran. Tehran berulang kali menyalahkan Amerika Serikat di balik protes yang mengguncang negaranya, termasuk gelombang aksi kematian Mahsa Amini.
Pengamat Internasional dari think-tank Atlantic Council Sina Azodi, menyatakan, Iran tidak berada di ambang perubahan rezim paska-protes Mahsa Amini. Namun Gelombang itu telah secara fundamental mengubah hubungan antara negara dan warga sipil.
Dalam konteks aksi secara lebih luas, Azodi meyakini protes terus berlanjut pada 2023, karena pemerintah Iran telah gagal mengatasi akar penyebab protes tersebut. Tuntutan perubahan sosial yang ditanggapi dengan brutalitas, menurut dia, tidak akan memberi solusi berkelanjutan. “Tidak jelas pada titik ini apakah negara memiliki kepentingan untuk menangani keluhan rakyat,” katanya seperti dikutip dari Al Jazeera.
REUTERS | AL JAZEERA
Pilihan Editor: AS Curigai Crane Raksasa Buatan Cina, Beijing: Benar-benar Paranoia