Tidak Mengubah Perilaku
AS dan negara-negara sekutunya juga menargetkan perusahaan-perusahaan dan individu-individu Rusia dalam daftar sanksi. Tindakan ini ditujukan untuk menyakiti orang kaya dan berkuasa di lingkaran dalam Presiden Rusia Vladimir Putin. Sanksi-sanksi ini pun belum memperlihatkan hasil signifikan. Beberapa pakar skeptis akan keberhasilan metode sanksi ini.
“Sejauh ini, kami telah melihat sanksi yang malu-malu,” kata Peter Tchir, kepala strategi makro global di perusahaan keuangan Academy Securities yang berbasis di New York. “Sanksi hanya bekerja ketika mereka memaksa perubahan perilaku, tetapi dalam kasus Putin mereka tidak berhasil.”
Pakar lain melihat kelemahan yang lebih signifikan dalam menjatuhkan sanksi. “Catatan tindakan tersebut adalah kegagalan,” kata Steve Hanke, profesor ekonomi terapan di Universitas Johns Hopkins. “Selalu ada solusi,” katanya, yang berarti sanksi tidak akan menghentikan orang kaya mendapatkan uang masuk atau keluar negeri.
Negara-negara lain juga telah melewati sanksi berat tanpa memperbaiki perilaku mereka. Hanke mencatat bahwa sanksi AS terhadap Venezuela belum melengserkan presiden otoriter negara itu Nicolas Maduro. Tindakan serupa terhadap Kuba tidak menyingkirkan diktator Fidel Castro pada masanya. Demikian pula, mullah teokratis Iran tetap memegang kendali padahal sudah lebih dari empat AS bertindak keras terhadap rezim tersebut. Masalahnya, sanksi kerap membangkitkan jiwa nasionalis penduduk suatu negara. “Siapa pun yang menjatuhkan sanksi dipandang sebagai musuh,” kata Hanke. Dengan kata lain, mentalitas pengepungan justru menyatukan orang-orang untuk mengatasi badai ekonomi.
Sementara itu, James O'Brien, kepala Kantor Koordinasi Sanksi di Departemen Luar Negeri, mengatakan sanksi memenuhi tujuan mereka untuk menguras keuangan dan teknologi Rusia yang dibutuhkan untuk mendukung militernya. Tetapi langkah-langkah itu, tambahnya, hanyalah “salah satu alat untuk menghentikan perang.”