TEMPO.CO, Jakarta - Kalangan pengusaha warung makan hingga restoran ketar-ketir mendengar rencana pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Selain karena harga-harga bahan pokok akan ikut terkerek, mereka cemas tak lagi mampu bayar sewa tempat karena ongkos operasionalnya bakal membengkak.
Opsi menaikkan harga menu pun jadi pilihan untuk menutup beban itu. Ketua Koordinator Warteg Nusantara (Kowantara) Mukroni mengatakan kenaikan harga BBM membebani pelaku usaha di tengah daya beli masyarakat yang belum pulih. Ia menggambarkan bagaimana omzet bisnisnya masih terus melorot saat masa sebelum Pandemi Covid-19.
Mukroni berujar, saat masa Pandemi Covid-19, omzet usahanya anjlok 50-90 persen akibat pergerakan masyarakat tidak menentu. Walau pagebluk corona sudah mulai mereda, pendapatan masih turun 25-35 persen.
"Kenaikan harga BBM ini kan akan mengerek atau menaikan harga pangan selanjutnya. Sementara kondisi daya beli rakyat, seperti rakyat bawah ini belum pulih sepenuhnya," kata Mukroni saat dihubungi, Rabu, 31 Agustus 2022.
Tatkala omzet masih rendah, dia mengatakan sewat tempat terus naik. Ia mencontohkan harga sewa lapak di Jakarta yang kini menjadi sekitar Rp 50-100 juta untuk ukuran luas 50-100 meter per segi. Karenanya, dia khawatir ada potensi gulung tikar.
"Itu yang kadang kala warteg bisa tutup karena tidak mampu bayar sewa karena kemarin pandemi, sekarang ini dengan kenaikan harga bahan makanan tentunya akan menyulitkan kami untuk memperpanjang kontrakan atau sewa tempat," ucap dia.
Kondisi ini membuat pengusaha makanan gamang. Jika nanti harga BBM bersubsidi naik di kisaran 20 persen, dia menyatakan tidak mungkin harga menu yang disajikan tidak ikut naik. Namun begitu pada saat yang sama, Mukroni bilang besaran kenaikan harga masakan tersebut tentu tidak bisa mengimbangi persentase kenaikan BBM bersubsidi.
Mengutip laporan Majalah Tempo, BBM subsidi disinyalir akan naik di rentang harga Rp 2.000 sampai Rp 3.000 per liter, dari harga Pertalite saat ini Rp 7.650 per liter dan Solar Rp 5.150 per liter. Artinya, kenaikan harga BBM itu sudah sampai sekitar 39,21 persen.
"Kisaran kami tidak mungkin menaikan harga di atas 20 persen jika daya beli belum sepenuhnya pulih. Tapi jika bahan pokok naiknya sudah di atas 50 persen mungkin kita bisa naikan harga di bawah 20 persen," ujar Mukroni.
Senada, Wakil Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bidang Restoran, Emil Arifin mengatakan hal yang serupa. Rencana kenaikan harga BBM bersubsidi ini juga bisa mengganggu bisnis restoran yang masih dalam tahap pemulihan.
Kata dia, okupansi restoran baru mengancik 70-80 persen setelah tertekan selama pandemi. Jumlah pegawai yang kembali terserap pun baru sekitar 20 orang dari yang kondisi normal yang bisa 35-37 orang. Okupansi hotel tak kalah rendah, kini masih sekitar 60 persen dan tempat wisata baru sekitar 40 persen.
"Jadi belum pulih. Kemudian sebelum BBM naik ini harga-harga sudah naik, harga tepung sudah naik, harga minyak goreng naik, telur naik, jadi memang serba salah," kata Emil saat dihubungi terpisah.
Jika harga BBM naik, ia memastikan harga transportasi untuk logistik juga ikut tersundul. Maka, dia berujar, harga-harga menu yang dijual nantinya akan semakin tinggi dari harga saat ini yang sudah cenderung naik.
"Kita marginnya sudah cukup tipis bahkan ada yang sudah naikkan harga menu, menu-menu sudah mulai dinaikin kecuali yang masih kontrak lama misal ayamnya dikontrak enam bulan masih harga lama, tapi ketika kontrak baru sudah pasti naik semua," ujarnya.
Pengusaha berharap harga bahan pokok tak ikut naik.