China, mengejar kebijakan nol-COVID, memberlakukan penguncian yang telah sangat melemahkan ekonomi terbesar kedua di dunia itu.
Pada saat itu, banyak negara berkembang masih bergulat dengan pandemi dan hutang besar yang mereka ambil untuk melindungi populasi mereka dari bencana ekonomi.
Semua tantangan itu mungkin bisa diatasi. Namun, ketika Rusia menginvasi Ukraina pada 24 Februari, Barat menanggapi dengan sanksi ekonomi berat. Baik langkah China maupun sanksi Barat terhadap Rusia, mengganggu perdagangan pangan dan energy global.
Rusia adalah produsen minyak bumi terbesar ketiga di dunia dan pengekspor gas alam, pupuk, dan gandum terkemuka. Sementara pertanian di Ukraina memberi makan jutaan orang secara global. Inflasi yang dihasilkan telah menyebar ke dunia.
Rusia, sebagai pemicu perang, turut terdampak. IMF memprediksi ekonomi Negara Beruang Merah itu akan berkontraksi 6 persen tahun ini.
Sergey Aleksashenko, seorang ekonom Rusia yang sekarang tinggal di Amerika Serikat, mencatat bahwa penjualan ritel negara itu turun 10 persen pada kuartal kedua dibandingkan dengan tahun sebelumnya karena konsumen mengurangi belanja. “Mereka tidak punya uang untuk dibelanjakan,” katanya.
Baca juga: Cerita Mahasiswa RI di Tengah Badai Inflasi Jerman: Belanja dan Sewa Rumah Makin Mahal
SUMBER: DANIEL AHMAD (TEMPO) | SKY NEWS | RT | WHEC.COM