“Saya tercengang dengan ini,” kata Oyewale Tomori, seorang ahli virus yang sebelumnya mengepalai Akademi Ilmu Pengetahuan Nigeria dan yang duduk di beberapa dewan penasihat WHO. “Setiap hari saya bangun dan ada lebih banyak negara yang terinfeksi cacar monyet,” kata Tomori.
"Ini bukan jenis penyebaran yang kita lihat di Afrika Barat, jadi mungkin ada sesuatu yang baru terjadi di Barat," katanya.
Wabah di Nigeria, yang melaporkan sekitar 3.000 kasus cacar monyet per tahun, biasanya di daerah pedesaan, di mana orang memiliki kontak dekat dengan tikus dan tupai yang terinfeksi, menurut Tomori. Dia mengatakan penyakit ini tidak menyebar dengan mudah dan banyak kasus yang mungkin terlewatkan.
Cacar monyet biasanya menyebabkan demam, menggigil, ruam dan luka di wajah atau alat kelamin. WHO memperkirakan penyakit ini berakibat fatal bagi sekitar satu dari 10 orang, tetapi vaksin cacar air bersifat protektif dan beberapa obat antivirus juga sedang dikembangkan.
Menurut Dr Tedros, kasus-kasus cacar monyet saat ini terkonsentrasi pada pria yang berhubungan dengan sesama jenis, khususnya mereka yang berhubungan seks dengan banyak orang. Karena itu, negara-negara perlu melakukan serangkaian langkah yang melindungi kesehatan mereka serta hak asasi dan martabat.
“Stigma dan diskriminasi bisa sama berbahayanya dengan virus apapun,“ tegasnya.
Para pejabat kesehatan sudah merekomendasikan agar kalangan yang berisiko tinggi terpapar cacar monyet—termasuk gay dan pria biseksual, serta sejumlah tenaga kesehatan—mendapat vaksin.
Francisco Silva adalah dokter umum di Lisbon, Portugal, yang juga bekerja di sebuah klinik kesehatan seksual di kota tersebut. Ia merupakan salah satu dokter yang dengan cepat mengidentifikasi pasien yang datang dengan penyakit cacar monyet.
"Pada awal Mei, saya memiliki beberapa pasien yang memiliki bisul. Kami menguji mereka untuk infeksi menular seksual tetapi semuanya kembali negatif, jadi kami tahu ada sesuatu yang salah.