Lalu, kata David, Kementerian BUMN perlu juga melihat UUD pasal 27 ayat 2 yang menyatakan tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Dia juga menyoroti Pasal 29 ayat 1 UUD 1945 yang menyatakan setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi keluarga martabat.
David berujar pekerjaan dan penghidupan yang layak merupakan hak asasi manusia yang dinyatakan dalam pasal 71 Undang-undang Hak Asasi Manusia. Termaktub di dalamnya, pemerintahan wajib memenuhi hak asasi manusia tersebut.
Menurut dia, pemerintah seharusnya segera membuat skema pembayaran atau mengeluarkan dana talangan terlebih dulu untuk membayarkan pesangon para eks karyawan. Sebab, seluruh aset Merpati itu ada di tangan pemerintah atau Kementerian BUMN. Adapun kini total tunggakan pembayaran pesangong kepada eks karyawan mencapai Rp 318 miliar.
"Kalau negara tidak dapat melindungi hak asasi manusia para karyawan karyawan Merpati, negara telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia," kata dia.
Pengamat penerbangan dari Jaringan Penerbangan Indonesia, Gerry Soejatman, berpendapat aset-aset yang dimiliki oleh Merpati Air tidak akan menutupi utang dan kewajibannya terhadap para eks karyawan. "Namun dengan dipailitkan, paling tidak kewajiban tersebut bisa diselesaikan," ujar Gerry.
Menurut Gerry, sebaiknya unit-unit usaha Merpati yang tersisa dan masih berjalan, seperti Merpati Training Center, Merpati Pilot School, dan Merpati Maintenance Facility diperjelas statusnya. Jika ingin melakukan pengalihan aset, Kementerian BUMN perlu mendata aset apa saja yang dapat dimanfaatkan.
"Terlebih Garuda lagi sekarat dalam restructuring jangan malah dibebankan dengan pemanfaatan aset Merpati," ucap Gerry.
Ia melanjutkan, sebelum berfokus pada aset, Kementerian BUMN perlu mempertimbangkan kejelasan pesangon eks karyawan Merpati Air. Sehingga, hak-hak para eks karyawan dapat dilindungi.