Dampak Larangan Ekspor CPO
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira berpendapat larangan ekspor CPO akan memberikan mudarat bagi negara, pengusaha, sampai petani. Dari sisi nilai tukar, dia memprediksi rupiah akan tembus Rp 15 ribu per dolar Amerika. Nilai tukar rupiah terpengaruh oleh harga acuan CPO yang akan melambung setelah kebijakan terbit.
Sebelum larangan ekspor CPO diumumkan saja, harga acuan CPO di bursa Malaysia telah menembus 6.980 ringgit per ton atau naik 9,06 persen. Selain itu, Indonesia pun akan menghadapi ancaman gugatan dari Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) karena dianggap menjadi biang keladi yang menyebabkan harga acuan CPO bergejolak.
“Kemudian eksportir harus siap-siap menghadapi penalti karena dianggap tidak bisa menghadapi kontrak penjualan ekspor,” ucap Bhima.
Imbas lainnya, Indonesia akan kehilangan mitra dagang sawitnya. Musababnya, negara-negara tujuan ekspor akan mencari mitra dagang dari negara lain.
Di sisi lain, Bhima berpendapat inkonsistensi pemerintah dalam memutuskan aturan ekspor bahan baku kelapa sawit menyebabkan kebijakan yang diambil bersifat prematur dan memiliki efek merusak bagi semua lapisan. “Ketidakpastian yang tentunya akan menurunkan wibawa pemerintah sebagai pengambil kebijakan strategis di mata pelaku usaha di sektor pengolahan sawit dan perkebunan,” katanya.
Dia menduga ada sinyal bahwa pemerintah tidak kompak dalam menyampaikan kebijakan, baik dari Presiden, Menteri Perdagangan, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, hingga Kementerian perindustrian. Selain itu, ia berujar kebijakan pemerintah yang menutup keran ekspor CPO secara mendadak akan berisiko terhadap munculnya perdagangan gelap. Sebab, kondisi ini membuka peluang kebocoran ekspor karena ketidaksiapan dari sisi pengawasan.
“Lalu citra Indonesia dipertanyakan. Apalagi Indonesia sedang tidak perang dagang dengan siapa pun. RI sebagai penyelenggara G20, semua mata sedang tertuju ke Indonesia,” ucap Bhima.
Mantan anggota Komisioner Ombudsman RI, Ahmad Alamsyah Saragih, menilai larangan ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng hanya efektif dilakukan dalam jangka pendek untuk menurunkan harga minyak goreng curah. Namun bila dipertahankan berlama-lama, aturan tersebut bakal memberikan efek domino khususnya di tingkat petani.
“Kalau dilarang ekspor agak lama, mereka (petani) akan menurunkan produksi (kelapa sawit),” ucapnya.
Dalam jangka menengah, Alamsyah mengatakan pemerintah harus mencari opsi lain untuk mengatasi masalah minyak goreng dengan melibatkan BUMN pangan, seperti Bulog. Sebagai perusahaan pelat merah, Bulog dapat menyerap stok kelapa sawit di tingkat petani dan menjaga stabilitas harga di pasar. Bulog, kata dia, bisa menunjuk perusahaan-perusahaan minyak goreng untuk melakukan pengolahan menjadi produk jadi dan memasarkan dengan kemasan tertentu. “Dengan demikian ada cadangan bahan baku minyak yang dikuasai pemerintah berupa stok yang diolah dan digunakan untuk menstabilisasi harga minyak,” ucap Alamsyah.
Kemudian dalam jangka panjang, Alamsyah berpendapat, pemerintah perlu memikirkan cara untuk mentransformasikan kepemilkan kebun sawit yang saat ini timpang. Pemerintah, dia melanjutkan, dapat memperpanjang hak guna usaha (HGU) dengan model decreasing sehingga ke depan, mayoritas lahan akan dimiliki oleh masyarakat.
Selanjutnya, pemerintah diminta memikirkan keberlanjutan ekspor. Jika memutuskan untuk tidak mengekspor bahan baku kelapa sawit, pemerintah perlu menyiapkan mekanisme penyerapan komoditas melalui program biodiesel.
“Jadi yang tadinya B30 naik jadi B20 atau B80. Dengan demikian, pemborosan devisa minyak bumi juga berkurang. Sebab dengan biodiesel itu, devisa yang berasal dari impor minyak mentah bisa dihemat,” ucap Alamsyah.
Baca Juga: Pemerintah Ubah Kebijakan Lagi, Larangan Ekspor Berlaku untuk Semua Produk CPO