Ketiga tersangka dari perusahaan ini diduga berkomunikasi secara intens dengan Indrasari untuk mendapatkan izin ekspor. Sebabnya, pada akhir Januari lalu, Menteri Perdagangan mewajibkan pengusaha memenuhi kewajiban domestic market obligation (DMO). Setiap perusahaan sawit yang akan mengekspor harus memenuhi ketentuan DMO 20 persen sebelum mendapatkan izin tersebut.
Sejumlah perusahaan diduga mendapatkan izin, meski tidak memenuhi syarat DMO. Inilah yang disinyalir menjadi akar penyebab stok minyak goreng di dalam negeri langka dan harganya meroket sampai nyaris dua kali lipat.
Said menjelaskan tingginya harga minyak goreng dalam beberapa waktu belakangan menambah beban para buruh di tengah perolehan upah yang stagnan. Dalam tiga tahun terakhir, kata dia, buruh tidak menikmati kenaikan upah. Padahal pada saat yang sama, laju inflasi terus terkerek dan harga-harga kebutuhan pokok melejit.
Walhasil, situasi ini menyebabkan daya beli buruh merosot sampai 30 persen. Dalam pertemuan dengan Kementerian Perdagangan pada Maret lalu, Said mengaku bahwa serikat buruh telah mendesak pemerintah membongkar mafia minyak goreng yang berpotensi merugikan negara dan rakyat.
“Karena setiap mau puasa, ada gejolak harga, selalu terjadi ada mafia. Kementerian Perdagangan tidak ada kemampuan mengantisipasinya,” kata Said.
Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Mansuetus Darto mengatakan mafia telah mencoreng promosi perdagangan minyak kelapa sawit di Indonesia. Apalagi mafia ini melibatkan tiga perusahaan strategis yang menjadi anggota Roundtable on Sustainable Palm Oil—sebuah lembaga sertifikasi minyak sawit berkelanjutan dunia.
“Mereka memiliki kekuatan dan dapat menciptakan instabilitas politik, ekonomi, keamanan,” ujar Darto.
Adapun SPKS melihat kemunculan mafia minyak sawit tak terlepas dari struktur pasar yang cenderung dikuasai segelintir perusahaan. Kartelisasi ini, kata dia, seharusnya menjadi bahan evaluasi secara menyeluruh oleh pemerintah.
Di sisi lain, Darto menyoroti potensi penyaluran subsidi minyak goreng yang disinyalir berpeluang menimbulkan kerugian bagi negara. Subsidi disalurkan melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit (BPDPKS), yakni badan layanan umum yang dimandatkan mengelola dana perkebunan kelapa sawit.
Subsidi ini diterapkan selama kebijakan DMO berlangsung. Pada periode tersebut, BPDPKS menyalurkan subsidi sebesar Rp 11,2 triliun, dengan dua tahap pembayaran. Tahap pertama Rp 3,6 triliun dan tahap kedua Rp 7,6 triliun. Namun, penerima subsidinya ditunjuk oleh Kementerian Perdagangan.
Dia menduga, pemberian subsidi berkaitan dengan peran konglomerat sawit yang duduk sebagai komite pengarah di BPDP-KS. Tak hanya itu, Dirjen Perdagangan Luar Negeri yang telah ditetapkan sebagai tersangka juga menduduki posisi Dewan Pengawas BPDPKS.
“Komite pengarah sangat sentral dalam pemberian subsidi dan konglomerat sawit duduk di sana. Ada conflict of interest,” ucapnya.