Ekspektasi inflasi yang muncul usai sejumlah isyarat yang disampaikan pemerintah itu, menurut Bhima, semakin menambah beban karena ada kenaikan harga secara musiman pada periode Ramadan-Lebaran tiap tahunnya.
Padahal, bahkan sebelum bulan puasa, harga sejumlah barang kebutuhan pokok sudah menanjak. Lihat saja kenaikan harga terjadi untuk komoditas daging sapi, telur ayam, tahu tempe, daging sapi.
“Inflasi yang terlalu tinggi di periode Ramadan-Lebaran juga bisa menyebabkan stagflasi. Artinya kenaikan harga tidak diimbangi dengan naiknya kesempatan kerja atau pendapatan masyarakat,” kata Bhima.
Menurut Bhima, ada lima kesalahan pemerintah yang fatal saat ini dan pada akhirnya berpotensi melanggengkan kenaikan inflasi. Lima kesalahan itu adalah: pemerintah yang tak kunjung memperbaiki tata kelola minyak goreng, tak mengawasi serius rantai distribusi dan penegakan hukum yang efektif khususnya terhadap bagi konglomerat sawit yang terbukti menahan stok pada saat harga eceran tertinggi atau HET minyak goreng kemasan berlaku.
Selain itu, Bhima mengkritik pemerintah yang tak membeli minyak dalam jumlah besar sebagai stok darurat pada saat harga minyak mentah sedang turun. Begitu juga soal kedelai, menurut dia, tidak ada persiapan apapun untuk mengamankan stok.
“Senses of crisis tidak muncul dari pemerintah karena anggaran digunakan justru untuk proyek-proyek ambisius yang tidak punya manfaat bagi stabilitas harga,” ujar Bhima.
Ia pun memperkirakan kemiskinan di Tanah Air akan naik jika inflasi tak bisa dikendalikan. "Perlu dicatat, ada 115 juta kelas menengah rentan yang gampang sekali jatuh miskin karena naiknya harga energi dan pangan,” katanya.
Selain itu, gelombang PHK juga menjadi konsekuensi dari menurunnya omzet usaha ketika konsumen merasa harga barang tidak terjangkau. “Sekarang masih dibantu THR tapi setelah lebaran, barulah problem nyata daya beli terasa,” ucap Bhima.
Soal bahaya melambungnya inflasi sebelumnya disampaikan oleh ekonom senior Universitas Indonesia, Faisal Basri.