Ia menyebut perang melawan Putin sebagai "pertempuran baru untuk kebebasan." Biden mengatakan keinginan Putin untuk "kekuatan absolut" adalah kegagalan strategis bagi Rusia dan tantangan langsung bagi perdamaian Eropa yang sebagian besar telah berlaku sejak Perang Dunia Kedua.
"Barat sekarang lebih kuat, lebih bersatu dari sebelumnya," kata Biden. "Pertempuran ini juga tidak akan dimenangkan dalam beberapa hari atau bulan. Kita perlu menguatkan diri untuk pertarungan panjang di depan."
Pidato itu muncul setelah tiga hari pertemuan di Eropa dengan G7, Dewan Eropa dan sekutu NATO. Pertemuan itu berlangsung pada saat yang sama ketika roket menghujani kota Lviv di Ukraina barat, hanya 60 kilometer dari Polandia.
Mantan Diplomat Amerika Serikat, Richard Haass, mengkritik komentar Biden soal kekuasaan Putin di Rusia. Eks politisi Partai Republik itu menilai, pernyataan Biden makin membuat situasi semakin lebih berbahaya.
"Komentar itu membuat situasi sulit menjadi lebih sulit dan lebih berbahaya," kata Haass dalam unggahan Twitter yang dibuat pada hari Minggu, 27 Maret 2022.
Presiden Prancis Emmanuel Macron juga mengingatkan agar ketegangan dalam konflik Ukraina, yang menyebar dalam perang kata-kata, harus dihindari. “Saya secara pribadi tidak akan menggunakan kata-kata seperti itu,” kata Macron, Sabtu, 26 Maret 2022 mengomentari pernyataan Biden.
Aliansi NATO juga ikut berkomentar. Perubahan rezim di Rusia bukanlah tujuan NATO, terlepas dari invasi Moskow ke Ukraina. Hal ini diungkapkan Kanselir Jerman Olaf Scholz pada Ahad lalu, sehari setelah Presiden Amerika Serikat Joe Biden mencap Presiden Rusia Vladimir Putin sebagai "tukang jagal yang tidak bisa tetap berkuasa".
“Itu bukan tujuan NATO, bukan pula tujuan presiden AS,” kata Scholz kepada saluran televisi pemerintah Jerman, ARD.