Pandangan berbeda disampaikan oleh Kepala Laboratorum Psikologi Politik Universitas Indonesia (UI) Hamdi Muluk, terkait pernyataan terbaru Jokowi taat konstirusi, tapi tak bisa melarang wacana penundaan Pemilu 2024. "Itu bisa dipahami, secara ketatanegaraan, tidak ada yang salah," kata dia.
Guru besar psikologi UI ini menyebut sejak awal Jokowi sebenarnya selalu memberi penjelasan bahwa dirinya taat pada konstitusi. Tapi sebagian pihak, kata dia, berekspektasi Jokowi langsung menyampaikan agar wacana penundaan Pemilu 2024 ini bisa dihentikan.
Tapi Jokowi sebagai kepala negara, kata Hamdi, tentu juga tidak bisa melarang orang untuk berpendapat yang menjadi asas dalam demokrasi. "Kalau presiden bilang tak benar itu orang yang minta penundaan, ya dia (Jokowi) jadi otoriter doang. Lho kok presiden nggak kasih ruang kebebasan berpendapat?" ujarnya.
Hamdi menilai Jokowi sebagai presiden tentu harus menjaga perasaan semua pihak di masyarakat. Apalagi, Jokowi selama ini juga tak pernah menghentikan munculnya wacana lain, seperti halnya wacana atau ceramah soal negara khilafah. "Gak pernah juga presiden bilang hentikan ceramah seperti itu. Apalagi seperti ini (wacana penundaan Pemilu 2024), itu hak orang berwacana," kata dia.
Hamdi pun menilai dalam politik ada ekuilibirum yang sepanjang tercapai, maka sulit memaksakan sebuah keinginan yang melawan rasionalitas politik. Ia yakin tidak akan ada penundaan Pemilu 2024, sehingga wacana ini tak perlu dipermasalahkan. "Tak perlu paksa-paksa juga, presiden harus tegas dong, setop itu. Ini kan demokrasi," kata Hamdi.
Sementara, Arya Fernandes menilai pernyataan terbaru Jokowi soal taat konstitusi justru membuat wacana penundaan Pemilu 2024 ini belum sepenuhnya selesai. Dengan memakai alasan bagian dari demokrasi, Jokowi justru membuka peluang agar isu ini terus menggelinding.
Padahal seharusnya, kata dia, pernyataan politik Jokowi harus jelas bahwa konstitusi sudah mengatur masa jabatan 5 tahun sekali dan diperpanjang untuk satu periode. "Harusnya lebih menohok. "Menurut saya pernyataan presiden harusnya lebih menohok," kata dia.
Sebab, Arya menilai gerakan dari kelompok yang mendukung wacana penundaan Pemilu 2024 ini juga sudah kehilangan pamor. Pertama karena peta politik berubah dan partai lain menolak, kedua karena tingginya penolakan publik.
Adapun Siti Zuhro berharap wacana ini bisa berakhir seperti kejadian di zaman mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY. Saat itu pernah muncul usulan perpanjangan masa jabatan dari kader partai, lalu ada resistensi di masyarakat, hingga tidak ada lagi gelombang wacana berikutnya.
Jokowi, kata dia, harus punya komitmen yang sangat jelas terkait ketaatan sebagai presiden dalam menjunjung konstitusi. Siti menyoroti bagaimana Jokowi mendapat rapor merah dari pegiat hukum di akhir periode pertamanya.
Sehingga seharusnya, periode kedua ini jadi kesempatan bagi Jokowi untuk menunjukkan bahwa ketaatannya pada konstitusi tak perlu diragukan. "Jangan sampai timbul terjemahan yang keliru," kata dia.
Siti pun mengingatkan agar presiden jangan melanggar konstitusi lewat penundaan Pemilu 2024 ini, karena bisa menimbulkan mosi tidak percaya. "Ini nantinya akan berpengaruh terhadap legitimasi pemerintah. Kaidah itu yang harus dipertimbangkan secara serius," ujarnya.
FAJAR PEBRIANTO